Selasa, 31 Mei 2016

Mampir Makan di Ngrenehan

(4)
Kamis, 1 Mei 2014


Photo by: Amer

     Jarak dari Pantai Nguyahan ke Pantai Ngrenehan hanya sekedipan mata. Keluar dari Pantai Ngobaran dan Pantai Nguyahan, ikuti saja jalan arah pulang, beberapa meter nanti ketemu pertigaan, ambil arah kanan. Begitu sampai, kami langsung mencari warung makan. Warung makan mulu yang dicari, calon suami kapan? Btw, kami mencari warung makannya random, yang penting kelihatan meyakinkan dan bersih. Saya tidak terlalu ngeh nama warungnya. Pokmen yang di pojok jalan sebelah kiri kalau tidak salah ingat, dekat mushola.

     Langsung saja kami memesan makanan, setelah tanya-tanya harga terlebih dahulu tentunya. Saran ya, dimanapun kalian makan, kalau tidak ada daftar harganya, usahakan untuk bertanya terlebih dahulu. Gengsi dong! Malu dong! Isin dong! Halah! Lebih milih menyelamatkan gengsi atau dompet? 

     Sembari menunggu pesanan datang, sebenarnya kami bisa jalan-jalan terlebih dahulu ke pantainya. Sepertinya asyik. Tapi, nyawa ini sudah terlanjur menempel di bangku. Hanya Amer yang turun ke pantai. PiyambakanKalau dilihat sekilas, Pantai Ngrenehan lebih indah dari pantai sebelumnya, meski tidak terlalu luas. Adanya dua tebing karang yang berada di sisi kanan dan kiri, mengesankan seolah pantai ini seperti "tersembunyi". Tapi sepertinya sedikit kurang nyaman untuk main-main air, karena pantai ini digunakan pula untuk "lalu lintas" dan tempat bersandar kapal-kapal nelayan. Saya juga butuh sandaran sih sebenarnya. Tapi yang mengasyikkan, kita bisa melihat aktivitas para nelayan. 


Photo by: Amer

     Kalau ada kapal nelayan, biasanya ada pelelangan ikan. Ya...di Pantai Ngrenehan memang terdapat tempat pelelangan ikan. Emak-emak pasti suka ini. Ikan-ikan segar bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Bagi yang ingin makan di pantai ini, bisa membeli seafood di tempat pelelangan ikan untuk kemudian diolah di warung makannya. Atau bisa pula langsung memesan semua-semuanya di warung makan, kalian tinggal duduk manis. Harganya pun tidak jauh berbeda. Tergantung selera. Kalau saya sih seleranya yang agak-agak brewokan seksi gitu.

     Makanan datang! Cukup lama kami menunggu pesanan kami datang. Ya kira-kira 14 purnama. Untuk makan siang ini, kami membeli sekilo cumi di pelelangan ikan, seharga Rp 50.000. Di warung makan, kami minta cumi ini diolah menjadi dua rasa, yaitu cumi lombok ijo dan cumi asam manis. Total uang yang kami berenam keluarkan untuk makan siang ini sekitar Rp 90.000, sudah termasuk nasi, lalapan, sambal, dan minuman. Tidak tahu ini terbilang mahal atau murah. Selak keluwen je. Kelar makan, kami pun pulang. Iya, tujuan kami ke Pantai Ngrenehan ya cuma makan.

Terimakasih.
Ketjoep!

Pantai Nguyahan

(3)
Kamis, 1 Mei 2014




"Yah...airnya buthek!"

     Seperti itu kira-kira ekspresi saya sewaktu sampai di Pantai Nguyahan, bukan "nguyuhan" ya. Mungkin semalam hujan, jadi air pantainya buthek (keruh, kecoklat-coklatan, tapi coklatnya matte, bukan shimmer). Bayangan saya akan air pantai yang jernih, biru, bersih, suci, aman, tentram, nyaman, bisa main air sepuasnya, langsung buyar. Memang, ke pantai di musim hujan itu untung-untungan.

   Suasana Pantai Nguyahan tidak jauh berbeda dengan Pantai Ngobaran, sedang ramai-ramainya. Yaiya...lha wong pantainya jejeran. Karena Pantai Ngobaran kurang nyaman untuk bermain air, pengunjung "menyerbu" Pantai Nguyahan demi bisa keceh-keceh manja. Untuk yang kemayu tidak mau panas-panasan, bisa santai-santai saja di gazebo yang disewakan di pinggir pantai. Sesantaian saja? Kalau lapar atau haus belaian? Di Pantai Nguyahan ini sudah banyak warung-warung makan yang akan memanjakan perut kalian. Tapi satu hal yang bikin saya risih, ada ayam berkeliaran di sekitar warung makannya. Pitik yo butuh santai di pantai, bos!










     Pantai Nguyahan ini memiliki garis pantai yang tidak terlalu panjang. Pantainya sempit, kalau saya bilang. Sayang sekali, kami datang disaat air sedang pasang. Kalau pas surut, kalian bisa main di bawah tebing yang agak menjorok sehingga membentuk cekungan di bawahnya. Sedikit horor sih main-main di bawah tebing. Saran saya, mending jangan ambil resiko.








Lagi ngobrolin harga bawang dan cabe

Untuk menciptakan foto (yang nampak) bahagia bersama, butuh sedikit perjuangan seperti...

ini...
Bebas, Ver. Bebaaasss. 


     
     Tanpa terasa, hari sudah memasuki Waktu Indonesia Bagian Rolasan. Perut pun mulai keroncongan. Kami segera cabut dari Pantai Nguyahan. Kenapa tidak sekalian rolasan disini? Karena masih ada satu pantai lagi, maka sekalian saja makan siang disana. Mau makan siang sama kami? Yuk, ikut ke Pantai Ngrenehan


Terimakasih, Pantai Nguyahan

Jogja Rasa Bali

(2)
Kamis, 1 Mei 2014

     Kalau ingin ke pantai dengan suasana yang berbeda dengan pantai-pantai lain di Gunungkidul, pilihan yang tepat jika kalian mengunjungi Pantai Ngobaran. Pantai ini sangat sangat sangat ngehits di kalangan traveler karena keunikannya. Tidak mengherankan sewaktu kami sampai, sudah banyak sekali pengunjung yang memadati pantai ini. Sik...sik...terus yang dimaksud "Pantai Triple N" kuwi apa? Jadi, Pantai Ngobaran diapit oleh dua pantai, yaitu Pantai Nguyahan dan Pantai Ngrenehan. Sama-sama memiliki huruf depan "N", so saya menyebutnya "Pantai Triple N" (Ngobaran, Nguyahan, Ngrenehan). Iya. Gitu. Ketika kalian berkunjung ke Pantai Ngobaran, afdolnya ke Pantai Nguyahan dan Pantai Ngrenehan pula. Jangan khawatir, lokasinya berdekatan kok. Sedekat aku dan calon suami...temanku. 

     Lalu, apa yang membuat orang-orang tertarik berkunjung ke Pantai Ngobaran? Dimana keunikannya? Adanya pura, bangunan seperti candi, patung-patung, dan ornamen batu-batuan lainnya, seakan membuat pengunjung dibawa ke suasana Pulau Dewata. Cocok untuk saya yang minim budget, tapi ingin mengobati rindu akan Bali beserta bule-bule gantengnya. Coba ditambah dengan iringan gending ala-ala Bali. Ah, rindu Bali...



Sumber: https://www.brilio.net/news/pantai-ngobaran-sentuhan-nuansa-bali-di-gunungkidul--1508037.html

     Cerita mengenai asal-usul Pantai Ngobaran pun sepertinya juga menarik untuk disimak, meskipun masih diragukan kebenarannya oleh para sejarawan. Konon, Pantai Ngobaran dipercaya sebagai tempat pelarian terakhir keluarga Kerajaan Majapahit yang bersembunyi dari kejaran bala tentara Kerajaan Demak. Untuk menghindari serangan dari Kerajaan Demak yang waktu itu dipimpin oleh Raden Patah, putra Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, mereka memilih untuk meninggalkan kerajaan demi menghindari peperangan dengan anaknya sendiri. Dari Trowulan yang berada di Jawa Timur, rombongan keluarga Majapahit yang juga diikuti para selir dari negeri Campa, lari menuju pesisir selatan Jawa dan terus bergerak menuju ke arah barat menyusuri daerah sepanjang pantai. Perjalanan Brawijaya dan anaknya yang bernama Bondan Kejawan, berakhir di Pantai Ngobaran. Di puncak bukit Pantai Ngobaran, Raja Brawijaya mengelabui bala tentara Demak yang mengejarnya dengan melakukan laku pati obong, yaitu dengan seolah-olah membakar dirinya sendiri. Ketika melihat kobaran api di puncak bukit, maka pasukan Demak mengira bahwa Raja Brawijaya sudah wafat dengan cara membakar diri, lalu mereka menghentikan pengejaran. Pantai dimana pasukan Demak melihat kobaran api tersebut dinamakan Pantai Ngobaran, yang berasal dari kata kobaran. Puncak bukit yang dipercaya sebagai petilasan lokasi pati obong tadi, kini dibangun sebuah pesanggrahan bagi aliran kepercayaan Kejawan, mengambil nama dari putra Raja Brawijaya yang ikut bersama-sama dalam pelarian, yaitu Bondan Kejawan. Pesanggrahan ini dibangun dengan gaya arsitektur Hindu dan Budha dengan hiasan berbagai patung-patung tokoh pewayangan serta dewa-dewa dalam agama Hindu. (Sumber)

     Bagi yang ingin bermain air, bisa menuruni anak tangga di Pantai Ngobaran ini. Tapi sepertinya kurang nyaman untuk dipakai keceh. Kalau air sedang surut, kalian bisa melihat hamparan rumput laut berwarna hijau. Ada yang menyarankan waktu terbaik untuk datang ke Pantai Ngobaran adalah ketika menjelang senja. Jika beruntung, kalian bisa mendapatkan pendar senja yang luar biasa di pantai ini. Berfoto di spot-spot asik Pantai Ngobaran pun pantang untuk dilewatkan. Terlihat dari banyaknya pengunjung yang seolah "mengantre" untuk mendapatkan foto yang instagram-able dengan background "ke-Bali-an"  ala Pantai Ngobaran. Iya, mengantre. Pengunjungnya buanyak buanget, mulai dari ala-ala traveler gembel macam kami sampai ala-ala sosialita, ada semua. 






Saking banyaknya pengunjung, kami cuma bisa foto nyempil-nyempil begini. 

     Karena kondisi yang ramai itu, kami memutuskan untuk melipir saja ke tebingnya, sembari cari angin. Untuk naik ke atas tebing, kami menapaki entah berapa puluh anak tangga terlebih dahulu. Tidak begitu tinggi, hanya harus hati-hati. Di sisi kanan dan kiri anak tangga dipenuhi tanaman yang lancip-lancip gitu. Kegores dikit, lumayan bikin lecet dan perih. Saya, korbannya. Petakilan sih. Oiya, di atas tebing ada sebuah bangunan yang saya tidak tahu itu bangunan apa karena pintunya tertutup. Apa itu pesanggrahan yang dipakai Raja Brawijaya untuk laku pati obong? Ada yang bisa kasih info ke saya?




Rambut lepek-lepek manja adalah bakat.

Rida

Amer

Sekar

One...

Two...

Doooorrrr!

     Sesudah menikmati view cantik dari atas tebing -tapi gagal ngadem karena tidak ada angin sama sekali-, kami turun untuk menuju pantai selanjutnya. Cukup berjalan kaki saja mengikuti jalanan setapak menurun yang berada di samping tebing. Monggo, menengok Pantai Nguyahan.

Ke "Pantai Triple N"

(1)
Kamis, 1 Mei 2014

     Pantai Triple N? Ada? Ada sekali! Terletak di Jogja, tepatnya Jogja lantai dua. Ya...Kabupaten Gunungkidul. "Pantai Triple N" ini adalah tiga pantai yang lokasinya berdekatan, tapi tidak saling sikut-sikutan. Kalau yang berdekatan, tapi saling sikut-sikutan itu cuma Rossi, Lorenzo, dan Marquez. Oke. Jadi, saya dan teman-teman (Sekar, Rida, Amer, Very, dan Sugeng), menyempatkan untuk dolan bareng, mumpung tanggal merah. Kalau tidak disempatkan, akan susah untuk kumpul bareng. Kalau susah kumpul, lalu Cinta main sama siapa? Cinta ndak punya teman, apalagi semenjak ditinggal Rangga ke Amerika, tanpa ada kabar pula.

     Berenam, 4 cewek dan 2 cowok, motoran, buta jalan, nekat saja berangkat ke "Pantai Triple N". Kami berangkat dari Solo sekitar pukul 07.00. Untuk ke Gunungkidul, kami melewati jalan alternatif via Tawangsari, Sukoharjo. Akses jalannya memang emm...ya begitulah. Cuma lebih enak lewat jalan alternatif, ketimbang lewat jalan kota yang pasti bakal macet.

     Sebelum memasuki wilayah pantai, kami sempat melewati Kawasan Suaka Margasatwa Paliyan. Melewati jalanan sekitar kawasan suaka margasatwa ini, kalian tidak akan merasakan teriknya matahari. Rindangnya pepohonan di sisi kanan dan kiri jalan membuat suasana terasa sejuk dan asri. Nggelar tikar di pinggir jalan sembari ngemil belalang goreng enaq bangeutz nih!



Di jalanan sekitar Kawasan Suaka Margasatwa Paliyan. Maap, sedikit alay, banyak rindunya...

     Dengan hanya berbekal ancer-ancer hasil tanya orang dan gugel, sampai juga kami di pos retribusi "Pantai Triple N". Saya itu tipe manusia konvensional, lebih marem kalau tanya orang langsung ketimbang harus mengandalkan GPS yang kadang suka kampret banget arahnya. Untuk retribusi, tarifnya Rp 5.000 per orang. Mari melanjutkan perjalanan lagi menuju "Pantai Triple N" yang berlokasi di Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul.  

     Akses jalan menuju "Pantai Triple N" ini bisa dibilang mudah, bisa juga dibilang susah. Mudah, karena sudah banyak terdapat papan petunjuk arah, meskipun terkadang masih gojag-gajeg juga benar atau tidak jalannya. Susah, karena kondisi jalannya berliku, naik-turun, lumayan sempit, dan di beberapa titik terdapat jalan yang tidak rata, bahkan berlubang. Jarang gosok gigi sih. 

     Melihat kondisi jalan yang seperti itu, sepertinya mustahil bisa dilewati bus besar. Sepanjang jalan, kami juga tidak berpapasan dengan bus-bus wisata. Tapi, sesampainya di lokasi, banyak bus wisata yang terparkir. Lewat mana mereka? Atau mungkin ada jalan lain yang lebih "manusiawi"

     Sekitar pukul 10.00, kami sampai di pantai yang pertama. Pantai ini sering disebut orang-orang sebagai Bali-nya Jogja. Widih! Iya, itu karena di pantai ini banyak terdapat patung-patung dan pura yang "Bali banget". Selamat datang di Pantai Ngobaran!

Minggu, 01 Mei 2016

Foto Sama "Buta" di Candi Arjuna

(4)
Minggu, 20 April 2014    

     
Hujan mulai sedikit reda ketika kami sampai di Kompleks Candi Arjuna. Turun dari kendaraan, saya langsung disambut aroma kentang goreng yang dijajakan di halaman kompleks candi. Kentang goreng ini memakai kentang khas Dataran Tinggi Dieng dan bisa dicampur berbagai macam bumbu, seperti BBQ, pedas, pedas manis, asin-asin upil, maupun asem-asem ketek. Seporsi kentang goreng yang masih hangat-hangatnya (kayak kamu dan pacar barumu), bisa ditebus dengan harga Rp 10.000. Lumayan untuk menambah kehangatan, setelah sekian lama tanpa pelukan. 

     Untuk menuju ke lokasi candi, kami melewati jalan setapak yang di sisi kanan dan kirinya dihiasi hijau pepohonan dan bunga-bunga cantik. Sangat memanjakan mata dan membuat lelah hilang seketika. Di tengah jalan, kalian juga bisa berfoto dengan badut yang memakai kostum tokoh film kartun, seperti yang saya jumpai, Mr. Donald Bebek dan Mrs. Desi Bebek. Di dalam kompleks candi ada badut Teletubies juga.









Kurang tahu apa namanya. Cantik, karena warnanya ungu.


Bunga terompet.

     Keindahan alam yang memanjakan mata belum berhenti. Sesampainya di area candi, view cantik masih tersaji di depan mata. Area candi dengan background alam Dieng berselimut kabut itu perpaduan yang luar biasa antara keindahan dan "kemagisan". Saya sampai tidak bisa berkata-kata untuk menggambarkan betapa ciamiknya view disini.








Sebentar lagi bikin girlband.
  


     Kompleks Candi Arjuna ini terdiri dari 5 bangunan candi, yaitu Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Selain Candi Semar, keempat candi lain merupakan candi utama yang digunakan untuk tempat bersembahyang. Melihat dari bentuk serta ornamen yang terdapat pada setiap candi, diperkirakan keempat candi tersebut dibangun pada masa yang berbeda. Candi Arjuna yang dibangun paling awal alias candi tertua, diperkirakan dibangun pada abad 8 Masehi oleh Dinasti Sanjaya dari Mataram Kuno. Sedangkan Candi Sembadra merupakan candi yang dibangun paling akhir. Perkiraan ini didasarkan pada perbedaan bangunan candi. Candi Arjuna masih sangat kental dengan gaya candi-candi dari India. Sementara pada Candi Sembadra sudah terlihat pengaruh kebudayaan lokal yang sangat kuat. Pengaruh ini salah satunya dapat dilihat dari relung yang ada pada candi. Candi-candi bergaya India memiliki relung yang menjorok ke dalam, sedangkan pengaruh kebudayaan lokal memiliki relung yang menjorok ke luar. Candi Arjuna, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra merupakan candi yang dibuat untuk menyembah Dewa Syiwa. Sementara Candi Srikandi dibangun untuk menyembah trimurti (tiga dewa), yaitu Syiwa, Brahma, dan Wisnu. Dari empat candi utama yang ada di kompleks ini, hanya Candi Arjuna yang memiliki candi sarana, yaitu Candi Semar. Candi sarana merupakan candi yang digunakan sebagai tempat berkumpul atau menunggu para umat sebelum masuk ke candi utama. (Sumber) 





     Karena hari sudah sangat sore, saya tidak sempat menjelajah sampai ke sudut-sudutnya. Hanya di sekitaran candi saja. Saya dan rombongan juga sempat berfoto dengan segerombolan orang yang memakai kostum ala-ala buta (buto / raksasa), berambut panjang, hitam, tatapan mata yang medeni, dan mempunyai taring yang panjang. Untuk berfoto bersama mereka, pengunjung dikenakan tarif Rp 10.000, per 3x cekrekan.





     Mengingat senja sebentar lagi tiba, kami segera saja bergegas pulang karena masih harus "turun gunung". Turun dari Dieng ketika hari beranjak gelap lumayan mengerikan sepertinya. Kami tidak sempat ke Dieng Plateu Theater, karena kendala waktu. Dieng Plateu Theater adalah tempat pemutaran film dokumenter tentang Dieng. Kelihatannya sih seru. Boleh lah dicoba lain waktu. 

     
Di tengah perjalanan pulang, saya masih tidak bisa berhenti berdecak kagum akan keeksotisan Dieng. Sekitar pukul 24.00, alhamdulillah sampai rumah dengan selamat, meskipun sewaktu sampai Klaten (untuk rute pulang, kami lewat Jogja) saya sempat was-was karena bapak sopirnya ngantuk dan doi nekat jalan. Itu cukup bikin hidup saya tidak tenang, lha sini duduknya di belakang sopir. Waktu ditawarin permen, doi dengan cool-nya nolak. Lha sini nawarinnya permen tiga roda.


***

     
Banyak yang bertanya, "Ke Dieng habis berapa duit?". Per orang merogoh kocek sekitar Rp 165.000, saya lupa kurang atau lebih dari itu. Biaya segitu untuk iuran sewa minibus elf, snack, makan siang, tiket masuk, jajan di angkringan Kawah Sikidang, dan makan malam. Kira-kira garis besarnya begitu. Kalau rincian detailnya saya kurang tahu, karena yang ngurus ini-inu-anu bukan saya. Tanya dong, kalau ke Dieng bawa motor matic kira-kira ngeri tidak ya?



     Perjalanan ke Dieng ini benar-benar memanjakan mata dan hati saya. Destinasi wisata di Dieng yang saya kunjungi ini sebenarnya belum apa-apa. Masih banyak wisata di Dieng yang antimainstream. Dari semua tempat yang pernah saya sambangi (kayak udah kemana aja, Tik!), yang bikin saya pengin balik lagi itu cuma Green Canyon, Ciamis. Tapi sekarang, saya akan tambah satu daftar lagi. Yes. Dieng. Lagipula ada satu hal yang bikin dolan ke Dieng ini belum khatam. Saya belum ngicip mie ongklok! Ada yang mau ajak saya makan mie ongklok? Terus saya penasaran juga, gimana sih rasanya nonton sunrise di Gunung Prau? Mbok aku diajak, mase...

Terimakasih.

Ketjoep!

Kawah Sikidang

(3)
Minggu, 20 April 2014


Kawah Sikidang

     Jarak dari Telaga Warna dan Telaga Pengilon untuk sampai ke Kawah Sikidang hanya sekitar 5 menit. Sekedipan mata pokmen. Hujan masih belum berhenti, meski sudah tidak terlalu deras. Kalau begini ceritanya, harus sedia payung. Bagi pengunjung Kawah Sikidang yang tidak membawa payung, jangan khawatir karena di lokasi ada yang menyewakan payung. Ongkosnya Rp 5.000 saja. Se-pu-as-nya.

     Alunan musik dari pengamen "berseragam" seperti kelompok marching band menyambut kami. Musik yang dibawakan pun enak didengar. Saya selalu suka sama pengamen yang niat seperti ini. Jadi bukan yang asal bunyi, asal mangap, asal dapet duit, asal abang senang.





    Sebentar saja saya menikmati musik yang saya bilang "musik selamat datang". Setelah itu, saya langsung berjalan menuju ke kawahnya. Jangan lupa kenakan masker, karena bau belerangnya menyengat sekali. Pengunjung dilarang untuk mendekat ke kawah. Berbahaya. Meski sudah diberi pagar pembatas, tapi demi mencegah hal yang tidak diinginkan, ada baiknya tidak terlalu dekat. Kalau sekiranya saya terlalu dekat dengan kawah, ya jangan ditiru. Tapi melihat air kawah yang "umup", saya jadi merutuk diri sendiri. Kenapa tadi tidak bawa Indomie dan beberapa rawit? 



Kemebul

 

     Kawah Sikidang, kalau dari namanya, orang-orang awam akan menganggap mungkin dulunya di kawah ini banyak dihuni oleh hewan kijang (kidang, dalam bahasa Jawa). Apa benar seperti itu? Jadi begini, ketika masuk ke lokasi kawah, terdapat beberapa lubang besar menganga yang mengeluarkan asap yang tidak terlalu tebal. Lubang-lubang besar tersebut merupakan kawah utama di masa lalu (mainnya masa lalu-masa laluan. Cedi.). Sementara kawah utama saat ini berada di jarak sekitar 1 kilometer dari pintu masuk. Selain itu, masih terdapat beberapa kawah kecil yang diperkirakan suatu saat akan menjadi kawah utama, menggantikan kawah utama saat ini. Karena letak kawah utama yang berpindah-pindah inilah, kawasan ini diberi nama "Sikidang". Kawah utama yang berpindah-pindah ini disamakan dengan sifat kijang yang senang melompat kesana-kemari. (Sumber)



Di sepanjang jalan menuju kawah utama banyak terdapat beginian. Mungkin ini yang dimaksud kawah-kawah kecil. 

Belum siap foto! Jangan ditiru, plis. Saya juga baru sadar kalau saya terlalu dekat dengan lubang kawah. 


Mundur lagi beberapa langkah, saya sudah jadi indomie siap saji.









     
Karena bau belerangnya menusuk sekali, kami hanya sebentar jalan-jalan dan foto-foto di sekitar kawahnya. Setelah itu kami menuju ke area oleh-oleh. Saya menyebutnya "pasar mini", karena kios-kios pedagang disini berderet seperti di pasar (apasih?). Yang mau cari oleh-oleh khas Dieng, semua komplit disini. Terutama ikonnya Dieng, apalagi kalau bukan...Purwaceng! Eh, bukan bukan. Carica, maksud saya. 


     Untuk yang belum tahu, carica adalah sejenis buah pepaya yang pohonnya hanya bisa tumbuh dan berkembang di beberapa tempat tertentu di dunia, salah satunya di dataran tinggi Dieng. Jenis pohon carica ini, dari akar, batang pohon, hingga daunnya memang serupa dan sama persis dengan pohon pepaya, bahkan daunnya juga sama pahitnya. Ketika diamati, carica nampak seperti kakao. Namun sewaktu buah carica telah dikupas, wujudnya tak jauh berbeda dengan kupasan pepaya atau kupasan mangga. Ketika dibelah, maka biji buah carica akan jelas terlihat jauh berbeda bila dibandingkan dengan biji buah pepaya, karena justru bentuknya lebih menyerupai biji buah markisa. Yang perlu diketahui, jika kita mengonsumsi carica kemasan instan siap konsumsi, baik cup atau botol, maka bahan air dalam kemasan itu sebenarnya adalah air yang berbahan isi biji carica tersebut. Catatan penting, carica tidak boleh dikonsumsi langsung tanpa diolah terlebih dahulu, karena akan menyebabkan rasa gatal di lidah dan bibir. Biasanya carica diolah dalam bentuk manisan dan sirup (Sumber). Saya suka banget, rasanya sepintas seperti buah pakel, seger, manis, asem. Kayak ketek abang-abang becak.





     
Selain carica, banyak pula dijajakan camilan-camilan lainnya yang bisa kalian bawa pulang sebagai buah tangan. Hasil bumi dari Dieng pun juga sah-sah saja untuk dijadikan oleh-oleh, misalnya kentang dan cabe khas Dieng. Cabenya, yawlaaaa! Pedasnya mantab di jiwa! Bentuknya lemu ginuk-ginuk. Dikasih oleh-oleh cabe ini mau banget dah saya!



Lomboke lemu

     Saat sedang melihat-melihat isi pasar, mata saya berhenti di satu angkringan. Enak nih, hujan-hujan mampir di angkringan. Ternyata rombongan saya sudah pada pewe ngeteh-ngeteh disitu. Saya pun menuju ke angkringan. Yang tidak boleh dilewatkan adalah menyicipi penganan khas Dieng yang lain, yaitu tempe kemul. Haduuuhhh juarak juarak juarak! Tempe sedang hangat-hangatnya, disajikan pas hujan, tapi sayang tanpa pelukan. 

     Di angkringan ini juga menyediakan gorengan lainnya, kentang goreng, dan purwaceng. Yang terakhir ini nih yang sepertinya juga jadi ikonnya Dieng. Di sepanjang jalan menuju Dieng, banyak warung yang menjual Purwaceng. Bahkan dalam agenda tahunan Dieng Culture Festival, salah satu agendanya adalah minum purwaceng bersama. Katanya rasanya itu kayak jahe, hangat, seperti pelukan Reza Rahadian. Kalau kalian tahu serbat (minuman jahe instan), kira-kira rasanya seperti itu. Katanya. Eh, ngomong-ngomong saya belum pernah ke DCF. Ada yang mau ngajak saya? Tahun ini atau tahun depan atau depannya lagi atau kapan saja boleh dah. Komen ya. Ehm.





     
Hari mulai beranjak sore. Masih ada dua lokasi lagi yang menanti. Harusnya lebih pagi lagi berangkat dari rumah, biar tidak diburu waktu. Setelah buibu kelar belanja oleh-oleh, kami pun bergegas menuju lokasi selanjutnya.  *teleport*

Terimakasih.

Ketjoep!

Telaga Warna dan Telaga Pengilon

(2)
Minggu, 20 April 2014

     Sekitar pukul 11.00, kami sampai di Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Suasana sudah ramai sekali. Banyak kendaraan plat luar kota yang memenuhi parkiran Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Sebelum masuk ke lokasi, kami memutuskan untuk makan siang sekalian, karena ada yang belum sarapan juga. Dibongkarlah bekal makan yang dibawa dari rumah. Biasa, totalitas cah piknik. Pukul 11.00 sudah makan siang itu termasuk rolasan ndak ya? Lewat dalan munggah-mudhun yo butuh tenaga.

     Sesudah membantai habis bekal makan, kami lalu masuk ke lokasi Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Tiket masuk Telaga Warna dan Telaga Pengilon ini hanya dihargai DUA RIBU RUPIAH SAJA!  Hajarlah. Ketika kami sampai, cuaca memang sudah agak mendung. Tidak lucu dong, baru sampai ujug-ujug turun hujan. Celana dalem model seperti apa yang mempan untuk menghalau hujan? 





      Masuk ke lokasi, kami disambut hamparan air luas berwarna biru semi toska. Ya...itulah Telaga Warna. Sekejap saya terpesona dengan kecantikan telaga ini. Apalagi suasana di sekitar juga mengasyikkan. Pepohonan yang rindang menambah kesejukan Telaga Warna. Suasana tenang dan alami pun bisa saya dapatkan dari tempat ini. Bau belerang juga tidak begitu menyengat. Sayangnya, sudah terlalu ramai pengunjung. Coba datangnya sedikit lebih pagi atau bukan di akhir pekan, pasti lebih tenang lagi suasananya. 




     Hal yang menarik dari Telaga Warna tentu saja mengenai asal-usulnya. Kenapa dinamakan Telaga Warna? Katanya, air telaga ini bisa berubah warna. Terkadang berwarna hijau dan kuning, biru dan kuning, bahkan berwarna-warni seperti pelangi. Tapi saya melihatnya hanya biru agak ketoska-toskaan (ketoska-toskaan???). Perubahan warna tergantung pada cuaca, waktu, dan tempat melihatnya. Konon, berubahnya warna air telaga tersebut dikarenakan pada jaman dulu ada cincin sakti milik seorang bangsawan setempat yang jatuh ke dasar telaga. Njuk bar kuwi piye, aku yo ora mudheng. Tetapi kalau ditilik secara ilmiah (azegh), perubahan warna air telaga ini terjadi karena terdapat kandungan sulfur yang tinggi di dalam airnya. Maka dari itu, jika terkena sinar matahari, air akan nampak berwarna-warni. Aja takon prosese, aku yo ora mudheng. Wis, ngono







Ini waktu hujan sudah mulai turun. Harusnya fotonya dibawah sih, ah sudahlah.


Kucel amat, mbak? Habis nguli dimana sih?

     Pertama kali yang saya cari di Telaga Warna adalah "ikonnya", yaitu satu batang pohon yang menjorok ke tengah telaga. Tidak terlalu di tengah-tengah juga sih. Maunya tengah banget atau tidak? Banyaknya pengunjung yang tidak mau melewatkan kesempatan untuk berfoto disitu, membuat pengunjung yang lain harus sabar mengantre. Biar berasa khatam ke Telaga Warna-nya. Yawislah, ketimbang nunggu lama, mari kita jalan-jalan saja. Lokasi Telaga Warna dan Telaga Pengilon ini cukup luas. Tapi jangan khawatir tersesat, karena sudah banyak papan penunjuk yang terpasang. Di dekat pintu masuk juga terpampang peta Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Memangnya ada apa saja disini sampai dipasang peta segala? Banyak! Selain melihat panorama Telaga Warna dan Telaga Pengilon, kalian juga bisa mengunjungi goa-goa yang terdapat di lokasi, seperti Goa Semar, Goa Jaran, Goa Pengantin, terus apa lagi saya lupa. 


Sudah ada peta, kalau masih tersesat sangatlah ngisin-ngisini (saya banget itu).

Papan petunjuk arah di lokasi Telaga Warna dan Telaga Pengilon





Nyari apa, Pak? Cethul nggak ada disitu.

     Sebelum masuk ke "hutannya", kami sempat melewati area rerumputan yang lumayan luas. Cakep! Untuk berjalan-jalan di sekitar Telaga Warna dan Telaga Pengilon ini enak, karena sudah ada fasilitas jalan setapak yang memudahkan pengunjung. Masuk ke area dengan pepohonan lebat yang saya sebut dengan "hutan", saya merasa tenang. Bukan berlebihan, tapi memang suasananya tenang dan sejuk sekali. Kalau orang Jawa bilang, idhum. Di sini pula terdapat beberapa goa yang bisa kalian datangi, beserta dengan cerita-cerita legenda yang menyertainya. 




     Setelah jalan-jalan santai susur "hutan", kami berniat untuk ke Telaga Pengilon. Letaknya di samping Telaga Warna. Dalam bahasa Jawa, pengilon artinya cermin. Jadi air di Telaga Pengilon ini (katanya) sangat bening, sehingga bisa digunakan untuk bercermin. Telaga Pengilon adalah tempat untuk melakukan introspeksi diri dan untuk melihat kedalam lubuk hati terdalam seorang manusia. Paling tidak itulah keyakinan yang berkembang dan dipercaya sampai sekarang. Dengan bercermin di Telaga Pengilon, kita akan melihat kecantikan atau keelokan wajah kita apabila kita memiliki hati yang bersih. Namun sebaliknya, apabila kita belum memiliki hati yang bersih, maka pantulan dari air tersebut akan menunjukkan wajah yang kurang elok atau cantik. (Sumber)

     Boleh percaya atau tidak, tapi iseng mencoba seru juga. Mari kita kesana! Baru asyik berjalan untuk menuju Telaga Pengilon, tiba-tiba gerimis turun. Makin lama makin deras. Karena tidak kunjung reda, maka kami memutuskan untuk cabut dan menuju ke lokasi selanjutnya. Masih ada 3 lokasi lagi, kalau menunggu hujan reda, takut tidak keburu waktunya. Padahal saya penasaran pengin mencoba ngaca di Telaga Pengilon. Barangkali ketika saya lagi ngaca, eh...ternyata mirip Raisa atau Dian Sastro.

Ada yang mau ke Kawah Sikidang? Monggo ikut saya kesini
Terimakasih.
Ketjoep!