Rabu, 22 Juni 2016

Ber-sunbathing di Nglanggeran

Sabtu, 16 Mei 2015




"Nglanggeran?" tanya mereka dengan raut muka heran penuh tanya.
     Ya...begitu ekspresi orang-orang ketika saya bilang mau ke Nglanggeran. Orang-orang? Bukan, saya bukan woro-woro ke orang-orang, "Woey, saya mau ke Nglanggeran lho!". Tidak tidak, bukan. Jadi ketika saya akan berangkat, banyak tetangga-tetangga saya tanya "Mau kemana?". Yasudah tak jawab, "Mau ke Machu Picchu nih!". Terus ini kowe ngomongke apa, Tik?

     So, apa itu Nglanggeran? Ternyata banyak yang belum tahu. Untuk para penghuni kota romantis se-Indonesia, Jogja, nama Nglanggeran sudah tidak asing di telinga. Nglanggeran adalah nama sebuah desa di Kabupaten Gunungkidul, DIY. Orang-orang mengenal Nglanggeran karena gunung api purba-nya. Ya...Gunung Api Purba (GAP) Nglanggeran memang sedang ngehits beberapa waktu belakangan. Konon katanya view dari puncaknya itu parah cantiknya. Jadi kalau kamu belum pernah ke GAP Nglanggeran, itu artinya kamu anak cupu! (Ngomong sama diri sendiri). Sebenarnya saya ingin sekali ke GAP Nglanggeran, tapi belum ada yang mau diajak trekking keatas. Kalau diajak berumah tangga, mau? 

     Tapi, apakah Nglanggeran hanya sebatas GAP saja? Masih ada beberapa tempat wisata lain di Desa Nglanggeran, seperti Air Terjun Kedung Kandang, Njurug Talang Purba, dan Kebun Buah Nglanggeran. Nah, yang akan saya datangi kali ini adalah Kebun Buah Nglanggeran atau yang lebih dikenal dengan nama Embung Nglanggeran.

    Rasa penasaran membawa saya dan teman-teman (Amer, Sekar, dan Yuli) untuk menyambangi Embung Nglanggeran. Weekend, ke Gunungkidul, dan lewat jalan kota, bukanlah pilihan yang tepat. Sudah dipastikan Jl. Solo-Jogja bakalan padat. Biasanya, di antrean lampu bangjo Prambanan, sering "tidak manusiawi" macetnya. Kenapa kami lewat kota padahal biasanya lewat jalan alternatif via Tawangsari, Sukoharjo? Ini semua karena Yuli. Kami harus menjemput Yuli terlebih dahulu di Kartasura, dimana rumahnya dekat dengan JL. Solo-Jogja. Ini semua salah Yuli! YULI! Y-U-L-I!  

    Setelah semua siap, kami berempat berangkat, motoran. Tak ketinggalan, saya "nyangking" kertas ancer-ancer rute ke Embung Nglanggeran. Yaelah...yahgini masih pakai kertas? Konvensional amat? FYI, saya memang masih menganut tradisi kehidupan jaman Fir'aun masih dibedong, dimana kertas dan bolpoin penting keberadaannya. Saya tidak terlalu suka ketika di jalan harus buka-buka ponsel untuk lihat rute. Saya corat-coret postingan blog saja masih tulis tangan. 

     Ini rute yang kami tempuh: Karanganyar - Solo - masuk Jl. Solo-Jogja - lampu merah Candi Prambanan ambil arah kiri (Piyungan) - lurus sampai lampu merah pertigaan (kalau ambil kiri ke arah Gunungkidul dan kanan ke arah Bantul) - ambil arah kiri - melewati Bukit Bintang Pathuk - perempatan setelah Radio GCD FM ambil arah kiri (menuju Desa Ngoro-oro) - melewati deretan tower-tower pemancar stasiun TV - pertigaan setelah Puskesmas Pathuk II ambil arah kanan - melewati depan pos masuk pendakian Gunung Api Purba Nglanggeran - lurus saja - ikuti papan petunjuk ke Kebun Buah Nglanggeran. 

     Sekitar pukul 11.00, kami tiba di gapura masuk bertuliskan Kebun Buah Nglanggeran. Tapi, itu belum sampai lokasi embungnya. Setelah membayar tiket masuk seharga Rp 5.000 per orang dan parkir motor Rp 2.000, kami masih harus menyusuri jalanan berbatu, terjal, dan berkelak-kelok. Sebentar saja, tapi tetap harus hati-hati. Akhirnya sampai juga kami di parkiran Embung Nglanggeran yang sungguh terlihat "cerah" (baca: panas). Jangan buru-buru bete karena panasnya gila-gilaan. Coba lihat view di sekitar parkiran. Keren! 


Parkirannya "gersang", cuy...



     Sebelum ke embung, kami berhenti di salah satu warung dekat parkiran untuk beristirahat sebentar. Selang beberapa menit kemudian, kami langsung berjalan menuju ke embung yang berlokasi di Dusun Nglanggeran Wetan, Desa Nglanggeran, Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunungkidul ini. 

"Mana embungnya?" tanya Yuli.
"Noh...diatas!" sahut saya.
"Naik tangga itu?!" lanjutnya dengan nada terkejut.
"Iya," jawab saya sembari membenarkan tudung jaket untuk menutupi kepala saking teriknya.
...kemudian Yuli pingsan, lalu saya seret...



     Iya, embungnya memang berada diatas bukit, dimana kami harus menaiki berpuluh-puluh (atau bahkan ratusan) anak tangga terlebih dahulu. Untuk yang capek, disediakan beberapa gazebo yang bisa dipakai untuk menghela nafas sejenak. Sebenarnya yang bikin capek adalah cuaca yang gokil parah panasnya. Yasalahlu, ke embung siang-siang. Memang, waktu terbaik untuk menikmati Embung Nglanggeran itu ketika sore hari. Sekalian nyurup romantis, karena senja disini katanya cantik. Tapi, karena kami berempat cewek-cewek dan sedikit cupu untuk pulang terlalu malam, jadinya siang-siang saja. Petualang level guguran ketombe kita mah. Tetapi sesampainya diatas, lelah kalian akan terbayar dengan view di sekitar. Ya...banyak orang pacaran. Aja terus baper. Shantay. Lemesin, shay...


Apa itu Embung?

     Banyak yang belum tahu apa itu "embung". Bukan "Embung aku, Mas! Embung aku!" ya. Embung adalah semacam telaga buatan. Kalau di Embung Nglanggeran ini, airnya berasal dari air hujan. Lalu kalau pas tidak hujan? Mungkin ada sumber air yang lain, karena saya melihat ada pipa-pipa yang mengalirkan air ke dalam embung. Air yang ditampung di dalam embung tersebut selanjutnya dimanfaatkan untuk mengairi kebun buah yang ada di sekitarnya.




     Embung Nglanggeran ini tidak terlalu luas. Di pinggiran, terdapat jalan setapak untuk memudahkan para pengunjung yang ingin berjalan mengelilingi embung. Siang-siang kesini itu bisa dibilang "sunbathing". Gile lu, Ndro! Panas abis, Ndro! Buat yang suka tanning (mbuh istilahe bener ora) biar kulitnya se-eksotis Mbak Farah Quinn, cocok sekali. Sementara untuk yang tidak betah berpanas-panasan, terdapat beberapa gazebo yang bisa dipakai untuk berteduh. Dan kami telat! Gazebo sudah penuh semua. Yasudah, mari kita berjemur. 

     Gazebo di sekitar embung penuh semua karena memang itu spot asik untuk bersantai sekaligus menikmati view di Embung Nglanggeran. Sekali lagi, waktu terbaik untuk datang kesini memang sore hingga malam hari. Sore hari kalian dapat menangkap senja dan malam hari dapat suasana romantisnya. Iya, ketika malam tiba, temaram lampu yang terpasang di sekeliling embung menciptakan suasana romantis. Kamu ndak mau ngajak aku ta, Mas?




Tuh..si bapak sampai krukupan ember, saking panasnya.


Apa yang bisa dilakukan di Embung Nglanggeran?

     Sebenarnya kegiatan yang bisa dilakukan di Embung Nglanggeran itu terbatas. Apalagi kalau siang-siang panas seperti ini. Tidak ada hal menarik yang kami lakukan, selain duduk menikmati pemandangan alam sembari sesekali foto-foto untuk di-upload di Instagram (saya sering kebalikannya). Kalian bisa naik sedikit ke bukitnya agar lebih leluasa memanjakan mata dengan pemandangan sekitar. Tapi saya tidak leluasa, karena suasananya ramai sekali. Di bukit ini juga bisa dipakai untuk ngecamp, begitu kata papan yang terpasang. 


Kiyer-kiyer



Yuli

Amer

Dian Sastro.

     Di embung kita tidak bisa basah-basahan manja gitu? Minimal, duduk-duduk anggun di pinggir embung sembari basahin kaki. Nah...hal itu terkait dengan beberapa peraturan yang wajib dipatuhi pengunjung Embung Nglanggeran, yakni:
  1. Dilarang berenang di embung,
  2. Dilarang membuang atau melempar apapun ke dalam embung, 
  3. Dilarang masuk atau duduk di dalam pagar embung, dan
  4. Dilarang membuang sampah sembarangan. 

Yang boleh berenang cuma ini.

     Sudah jelas ada peraturan seperti itu, jadi jangan dilanggar. Tidak ada acara main-main air segala. Tapi saya sempat melihat dua orang bapak-bapak nyebur ke embung pakai life vest. Saya tidak tahu mereka siapa. Yang saya tahu cuma Hamish Daud itu keren parah. Udah. Kalau pegawai embung, kok mereka tidak melakukan aktivitas apa-apa, malah ketawa-ketiwi bahagia. Kalau pengunjung, apa peraturan yang tertera kurang jelas? Sudah, foto-foto saja. 


Yuli, kang poto keliling.

Sekar

Raisa.

     Peringatan juga bagi yang hobi motret, usahakan untuk tidak memotret dengan posisi terlalu dekat dengan embung. Terlebih bagi yang tangannya suka tremor-tremor jahanam. Embung ini mempunyai kedalaman sekitar 3-4 meter, begitu samar-samar yang saya dengar dari petugas melalui pengeras suara. Kalau kamera atau henpon kalian terjun bebas ke air, tamat sudah. 

     Menyoal fasilitas, di Embung Nglanggeran ini fasilitasnya belum terlalu komplit. Toilet oke, sudah ada banyak. Warung makan, seadanya saja. Bukan warung makan yang menunya komplit, tapi lebih seperti angkringan. Buat saya sih tidak masalah. Angkringan for life! Untuk mushola, saya tidak lihat atau mata saya yang siwer? Kebetulan saya sedang berhalangan, jadi tidak begitu ngeh dimana letak musholanya. Tempat parkir, luas! Bus pun muat. Tapi sayangnya, bus besar tidak bisa masuk kesini. Akses jalan yang sempit dan berbatu hanya bisa dilewati motor dan mobil saja. 


Seperti ini akses jalannya.

Keblasuk

     Oke, setelah merasa kulit sudah cukup eksotis, kami segera pulang. Di perjalanan pulang ini lah petualangan dimulai. Keluar dari lokasi Embung Nglanggeran, kami pede saja mengikuti jalan yang ada. Ikut mobil yang jalan di depan kami sih sebenarnya. Ya karena tak kira jalannya juga sama seperti waktu berangkat. Begitu sudah ketemu jalan raya, "KYAAAAA! KOK BEDA?! INI DIMANDOSE??!!". Iya, tidak tahu bagaimana ceritanya, kami sampai di jalan yang berbeda dengan pas berangkat. Tenang, ini bukan cerita horor kok. Tengak-tengok, ada papan petunjuk arah untuk ke Jogja dan Cawas (Klaten). Kalau mau cari aman ya mengikuti arah Jogja. Tapi kami ingin jalur yang cepat sampai dan malas juga harus menerabas padatnya Jl. Jogja-Solo seandainya lewat jalur kota. Akhirnya kami tanya orang arah ke Cawas, yang mana itu jalan alternatif untuk sampai Solo. Lewat jalan alternatif itu minusnya satu, minim papan petunjuk arah. Cukup membingungkan, apalagi bagi yang tidak tahu jalan, seperti kami. So, tiap sampai di persimpangan, kami selalu tanya orang. Niatnya ingin cepat sampai rumah, tapi malah muter-muter karena buta arah. Luwe sisan. Padahal biasanya saya bahagia lahir batin lho kalau keblasuk. Kita jadi tahu daerah-daerah baru yang tidak kita kenal sebelumnya. Tapi ternyata lapar turut mempengaruhi mood juga. Mhehehe...

     Kami sempat melewati daerah...emm...embuh saya tidak tahu daerah mana, pokmen jalannya menurun tajam (lebih tajam dari mulut saya) dan di sisi kanan disuguhi view sawah-sawah dari atas. Kece parah! Nah itu, saking terpesonanya, saya sampai tidak siap ketika jalanan menurun. Tak kira turunan biasa, lah kok ini "ngglondor" banget? Direm atau tidak, sama saja e. Amit-amit, saya sudah sampai membayangkan yang aneh-aneh sembari terus komat-kamit berdoa. Bentuk jalannya sendiri (bentuk jalan???) menurun dan berkelok. Begitu sampai di kelokan terakhir, ada mobil dari arah berlawanan. 


"Iki piye?!", saya pun heboh sembari mikir "Duh, belum kawin... eh, nikah lagi!".

     Sampai kemudian saya lihat ada gang di sisi kiri. Tanpa pikir panjang, saya langsung membelokkan motor ke gang tersebut. Orang-orang kalau lihat, saya yakin mereka akan komen "Cah wedok numpak motor yak-yakan". Bodo amat dah. Yang penting, alhamdulillah saya dan Sekar tidak kenapa-kenapa. Paling ginjal twerking. Saya tahu, kalian mengharapkan cerita ini lebih dramatis kan? Bukan antiklimaks seperti ini kan? Yakan? Jiwit!

     Saya pakai motor matic, btw. Tidak tahu ini kesalahan motor saya yang remnya kurang maksimal atau saya yang bego kelas atas dalam mengendarai motor. Yang terpenting, kemanapun kalian pergi, mau dekat atau jauh, mau lama atau sebentar, mau sama pacar atau mantan, usahakan untuk selalu cek kondisi kendaraan. Cek kondisi kendaraan, bukan kondisi mantan.




Terimakasih.
Ketjoep!



UPDATE:
     Setelah mencari info kesana-kemari, saya pun menemukan kesalahan kenapa motor saya melaju tak terkendali. Kesalahan 80% dari saya sendiri. Si bego ini tidak tahu kalau naik motor matic di turunan dalam kondisi tidak di-gas alias posisi netral dan hanya mengandalkan rem saja, bikin proses pengereman tidak maksimal. Nah, saya main lepas gas begitu saja dan cuma main rem. Ya...bablas! Soale di pikiran saya, kalau gas dikosongkan maka laju kendaraan akan melambat. Tapi ternyata itu tidak berlaku untuk kendaraan matic, Tuan Nona. Turunan, gas kosong, nyelonong...

     Jadi, sedikit tips saja untuk para pengendara motor matic. Sewaktu melewati jalanan menurun, jangan sekalipun lepas gas. Dikurangi saja, sembari menekan tuas rem secara bersamaan. Jangan pula melepas rem kalau masih di turunan. Begitu dari artikel-artikel yang saya baca. Tolong dibenarkan kalau saya salah. Wong saya ini anaknya sotoy berat. Maklum tidak suka hal yang berbau teori. Naik motor ya asal tancap saja. Payah kan? Iya. 

     Kesalahan 80% dari saya, lalu sisanya dari siapa? 10% dari medan jalannya. Sebelumnya jalanan datar, kenapa tiba-tiba ada "surprise" jalanan menurun tajam? Kan eug kaget. 5%   dari view sekitar yang hacep. Kan eug jadi terlena. Sisa 5%, dari siapa lagi ya? Ah! Mobil yang melaju dari arah berlawanan. Bikin ginjal twerking! Pokmen itu. Kesalahan bukan dari saya saja ya? Oke. 

Minggu, 12 Juni 2016

Ber-Sabtu Malam-an di Sadranan (Part 2)




     Di depan kami, segerombolan mas-mas bertelanjang dada sedang asyik menendang dan melempar bola sembari tertawa lepas. Bahagia, tanpa beban. Lain kali pakai miniset ya, Mas. Itu teteknya kendor, lari kesana-kemari. Ada pula gerombolan mas-mas lain yang sibuk mengais pasir pantai untuk "mengubur" temannya (gojekan jaman Warkop de-ka-i belum kenal luwak weit kofi). Tidak jauh dari mereka, banyak anak kecil kegirangan bermain ciprat-cipratan air pantai sembari sesekali meringis keasinan. Ada pula tiga orang cewek-cewek centil dengan muka pucat tanpa gincu dan pensil alis, sibuk mengarahkan lensa kamera untuk mendapatkan pose selfie terbaik. Dari arah parkiran, satu-persatu pengunjung mulai berdatangan dengan menenteng kamera dan tongsis kebanggaan. 

     Jarum jam memang masih menunjukkan pukul 06.00, tapi suasana pantai sudah mulai ramai. Ramai sekali. Kami pun mulai beberes tenda dan perintilan-perintilan lainnya. Jangan lupa bereskan sampah dan buang ke tempatnya. Selesai beberes, barulah kami berjalan-jalan menikmati pantai di pagi hari. Pantai Sadranan ini cantik dan cukup bersih. Saya, sangat suka! Ya meskipun masih ada satu-dua sampah yang berserak. Di sisi timur, ada batu karang besar yang berada di tengah-tengah. Kalau sewaktu air surut, katanya kita bisa jalan menyeberang dan naik kesana. Tapi yang jadi PR, sewaktu sudah diatas lalu tiba-tiba air kembali pasang, njuk mulihmu piye?







Photo by: Sugeng






Ini anak semalaman ngajak cari ikan mulu. Ngidam iwak ra ketulungan.  (Photo by: Sugeng)
     
     Masih di sisi timur pantai, ada tebing yang sepertinya bakal seru kalau kita naik ke atas sana. Dari bawah, tebing ini sudah sangat foto-able. Anak tangganya didesain sedemikian rupa dengan ornamen batu-batuan dan tanaman-tanaman cantik di kanan-kirinya. Katanya, diatas tebing terdapat bangunan villa mewah, tapi sudah lama tidak dipakai. Hmm...penasaran. 









Photo by: Sugeng

Spot terasoy di Pantai Sadranan


     Wow! Begitu sampai atas tebing, view pantai dan laut lepas terbentang di depan mata. Mata kami serasa dimanjakan. Di sisi kanan Pantai Sadranan, saya bisa melihat Pantai Slili dan Pantai Krakal. Sedangkan di sisi kiri, ada Pantai Ngandong dan Pantai Sundak yang tidak kalah ciamik. Lalu pandangan saya tertuju pada kamar-kamar villa yang memang nampak tak terurus. Padahal "surga" sekali ini, ada villa diatas tebing dengan view laut lepas. Kemudian ada satu lagi bangunan besar, seperti aula atau tempat makan villa (saya kurang tahu), yang justru masih bagus dan rapi. Tapi tidak ada orang sama sekali di dalam. Kurang tahu apakah villanya masih sering dipakai atau tidak.


View sisi kanan Pantai Sadranan

Idem

View sisi kiri Pantai Sadranan

Percayalah, ini kacanya yang burem. Bukan muka kita-kita yang belum mandi ini yang burem.

Yuli

Amer


Gal Gadot

***

     Banyak yang bisa dilakukan di Pantai Sadranan ini. Kalian bisa main layangan, karena ada yang menjajakan layangan di pantai. Beberapa gazebo yang berderet di pinggir pantai juga seakan melambai-melambai dan berteriak manja "Hey...come to me, baby!". Cocok untuk yang ingin pacaran. Hanya dengan Rp 20.000, gazebo ini bisa disewa sepuasnya. Bahkan juga bisa disewa semalaman penuh, jika kalian ingin ngecamp tapi tanpa tenda. Kata mase yang dari komunitas vespa Jogja itu, harga sewanya Rp 20.000 juga untuk semalaman. Kemudian bagi yang ingin menikmati kecantikan bawah air Pantai Sadranan, bisa mencoba snorkeling dengan merogoh kocek Rp 50.000, durasinya 2 jam. Atau kalian mau keplek ilat alias makan-makan saja? Bisa! Di Pantai Sadranan sudah terdapat banyak warung makan dengan menu utama ikan dan olahan seafood lainnya.








     Sementara bagi yang ingin bermalam, disini sudah banyak penginapan dengan tarif yang berbeda-beda. Atau mau merasakan bermalam dibawah tenda seperti kami, tapi kalian tidak bawa tenda? Kalian bisa menyewa tenda di pantai untuk kemping di area camping ground, yang terletak di bawah tebing bagian timur. Nah...sebenarnya kami fail nih kemping di Pantai Sadranan, karena pantainya sudah ramai dan tertata sekali. Bukan apa-apa, tapi "feel" kempingnya sedikit hilang. Oiya, untuk keperluan ke belakang alias toilet, kami hanya membayar Rp 5.000 untuk semalaman. Tarif itu disarankan oleh ibu-ibu pemilik warung sekaligus kamar mandinya. Hanya dengan lima ribu rupiah sudah bisa pipis sejebolnya. Warung si ibu ada di dekat parkiran, pokoknya yang ada spanduk "Pop Mie". Di Pantai Sadranan ini mungkin kekurangannya hanya satu, yaitu belum tersedia mushola yang memadai. Untuk keperluan sholat, hanya disediakan sebuah kamar sederhana di dekat parkiran, yang menyatu dengan warung makan. 

***

     Sekitar pukul 10.00, kami pulang. Di perjalanan, kami sempat mampir di satu tempat -entah apa namanya-. Tempat ini seperti bukit dengan "krowakan" di tengahnya. Nah, di bawah katanya terdapat 2 goa. Yang satu bisa tembus ke pantai, satunya lagi tembus ke goa yang lain. Tempat ini asyik. Mungkin ada yang bisa kasih info ke saya soal tempat ini? Lokasinya masih di kawasan Gunungkidul. Kalau kalian melewati jalan alternatif Gunungkidul-Solo, pasti melewati. Tapi, karena tempatnya gersang, disarankan untuk tidak kesana pas siang bolong. Bunuh diri, namanya.





Sepertinya goa yang dimaksud adalah bolongan dibawah itu.


In frame: Amer.


     Hanya sebentar saja kami mampir, kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Melewati jalan pedesaan dengan kanan-kiri pepohonan rindang, cukup "menghanyutkan" kami. Suer! Ngantuk parah! Saya boncengan sama Yuli dan saya yang di depan. Berulang kali, saya cari cara untuk menghalau kantuk. Mulai dari nyubit tangan sendiri, nampar pipi sendiri, nyanyi-nyanyi, ngedance, ngeteh, ngopi-ngopi, udud-udud, main catur, main karambol, main remi, main domino, sampai main dingdong. Kagak ngefek! Bahkan si Yuli di belakang sudah nyender aja. Tidur dia. Seumur-umur, baru kali ini saya naik motor diserang kantuk parah. 

     Beruntung kami segera sampai di rumah Very, di daerah Weru, Sukoharjo. Kami pun mampir untuk istirahat sebentar (baca: minta makan. M-i-n-t-a.). Sekitar satu jam kami goleran di rumah Very. Cukuplah untuk menyegarkan badan dan mata. Karena sudah sore, kami segera pulang. Saya sampai rumah sekitar pukul 17.00, dengan badan asli lengket parah karena tidak mandi. Sudah bayar toilet dan ente tidak mandi, Tik? Males. Sip.

     Menghabiskan Sabtu malam dengan teman, dapat teman baru, dapat pengalaman baru, jadi tahu teman-teman yang pada pinter ngapa-ngapain dan saya yang tidak bisa ngapa-ngapain. Akhir pekan yang menyenangkan. Terimakasih untuk Very dan keluarga yang rela menampung gembel-gembel ini, yang cuma mau numpang makan dan tiduran. 

Terimakasih.
Ketjoep!



Terimakasih, Sadranan...

     Sembari rebahan, saya pun mengambil kamera dari dalam tas dan melihat hasil foto-fotonya. Lalu, tangan saya berhenti mengklik next ketika sampai di salah satu foto. Hmm...not bad uga kita walau tanpa gincu dan pensil alis.


Di kaos saya itu remah-remah pasir pantai ya, bukan ketombe. FYI saja.

Ber-Sabtu Malam-an di Sadranan (Part 1)

Sabtu, 20 September 2014




     Sabtu malam? Iya, karena saya sedang tidak bersama pacar. Kalau sama pacar, judulnya malam minggu. Iya, gitu. Sabtu malam ini, saya dan teman-teman menghabiskan waktu dengan kemping di pantai. Ini kemping pertama saya di pantai, btw. Paling banter kemah persami pas jaman SMP dan SMA, itupun cuma di lapangan atau halaman sekolah. Meski cuma di sekolahan, tapi cukup horor juga karena ada yang kesurupan. Terus, ente mau cerita kesurupan atau kemping di pantai, Tik?

     Jadi saya, Amer, Very, Sugeng, dan Yuli memutuskan untuk memilih Pantai Sadranan menjadi lokasi kemping kali ini. Sebenarnya ada Sekar juga, tapi mendadak di hari H dia tidak bisa ikut. Belum sedia bikini, katanya. Kami berlima berangkat dari Solo sekitar pukul 13.30 dan tiba di lokasi sekitar pukul 17.00. Kok lama? Ya karena mampir-mampir dulu. Setelah mencari tempat yang sekiranya aman dan nyaman, kami langsung mendirikan tenda. Emm...tidak, tidak, saya tidak ikutan. Biar menjadi urusan mereka-mereka, karena saya cupu parah kalau perkara tenda-tendaan.

     Petang hampir tiba, saya pun tidak sabar untuk melihat pendar senja. Salah satu tujuan saya kemping adalah untuk menikmati senja di pantai. Dan...keberuntungan belum memihak saya. Mendung menghalangi senja menyapa. Yasudah, masih ada sunrise esok hari. Begitu batin saya untuk ngayem-ayem diri sendiri.

     Malam menjelang, makin banyak pula yang datang ke Pantai Sadranan untuk kemping. Salah tempat ini sepertinya. Kemping kan lebih asyik kalau sepi nggih? Karena kebetulan malam Minggu, eh...Sabtu malam juga, jadi banyak sekali yang numpang tidur di pantai yang terletak di Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul ini. Belum lagi banyak rombongan keluarga yang datang untuk bermalam di penginapan sekitar pantai. Ruamene ra umum, dab!



Ini bukan ritual pemujaan setan ya...


     Kami mulai membedah logistik masing-masing dan menyiapkan makan malam yang mewah. Mewah? Memangnya bawa apa saja? The one and only, Indomie! Kami sangu nasi kucing juga. Lah mewah dari mana? Mewah bukan perkara makanannya apa, tapi makannya sama siapa (cieeee gitu). Makan sesederhana apapun, kalau bareng-bareng teman, akan terasa istimewa (cieeee lagi gitu).





Photo by: Amer

     Beres makan, kami hanya berbincang-bincang random hingga malam mulai larut. Sangat mengasyikkan, tidur beralas pasir dan beratap langit dengan sapuan bintang yang muncul malu-malu. Tak lupa, acara bakar jagung juga mengisi malam kami. Jagung crispy rasa wijen (baca: pasir pantai) menjadi menu santap yang hmmmmm...



Photo by: Amer

     Dini hari, saya, Amer, dan Yuli menyempatkan untuk jalan-jalan susur pantai. Widih, banyak uga yang kemping. Ada yang kemping iseng-iseng seperti kami, ada yang kemping untuk mengikuti acara kampus, ada pula dari komunitas yang ngecamp sebagai agenda rutin mereka. Nah, sewaktu jalan, ada dua mas-mas dari komunitas vespa Jogja yang menghampiri kami. Kebetulan mereka ngecamp juga. Jadilah kami ngobrol ngalor-ngidul, sharing segala hal. Dari mas-mase itu, saya juga tahu kalau layangan bisa digunakan sebagai drone. Mosok sih? Eh, mas-mase namanya siapa? Embuh, saya lupa.

     Pukul 03.00, kami balik ke tenda karena udara makin dingin dan perut meronta-ronta minta diisi adek, eh... minta diisi makan. Di tenda, Sugeng masih asyik gitaran sendiri. Very? Wis tekan Selat Gibraltar. Lupakan Very, mari bikin Indomie. Kami tidak punya ide untuk bawa bekal apa lagi selain Indomie. Terlebih ingin yang simpel-simpel saja. Kelar makan, kami tidur sebentar sebelum melihat sunrise. Dan.. FAIL! Kami baru bangun setelah sinar matahari menyelinap di sela-sela tenda. Ah! Sunset gagal, sunrise luput dari genggaman. Mungkin ini pertanda kalau suatu hari kami disuruh kembali lagi. Mungkin gitu. Iya. Mungkin.


Muka-muka bangun kesiangan kagak dapet sunrise