Sabtu, 28 Oktober 2017

Lawang Sewu, Sebuah Lorong Waktu (Part 1)

Kamis, 14 September 2017

     Kaca jendela sedikit terbuka, menghantarkan udara pagi menyelinap masuk ke dalam mobil yang kami tumpangi. Perlahan hawa segar menerpa wajah saya. Mungkin semacam diterpa ababnya Jason Statham. Udara pagi nan segar ini membuat kantuk menyerang. Namun saya enggan memejamkan mata, karena pemandangan di sepanjang jalan tol Semarang sangat haram untuk dilewatkan. Tapi tidak termasuk pemandangan sopir truk "Pulang Malu, Nggak Pulang Rindu" yang sedang pipis sembarangan. Seharusnya tulisan di truk bisa diganti menjadi, "Pipis Malu, Nggak Pipis Batu Empedu". Yha.

     Masih pukul 07.00 WIKB (Waktu Indonesia bagian Kebelet Boker), tapi lalu lintas Kota Semarang sudah padat merayap. Benar-benar merayap. Udara segar pun seketika lenyap. Sementara keringat dingin mulai bercucuran. Di sepanjang jalan yang kami lewati, saya tidak menemui SPBU atau masjid. Jadi yang saya lakukan hanya berdoa dan sebisa mungkin tidak terlalu banyak bergerak hingga tiba di tujuan, yaitu kos adik saya. Perjalanan pagi memang ada ples maines-nya tersendiri. Atau haruskah saya sangu batunya Ponari?

     Ini adalah perjalanan kedua saya ke Semarang. Yang pertama nunut "nyelehne bokong" saja, karena hanya angkut-angkut barang ke kos adik saya yang mau PKL (Praktik Kerja Leyeh-Leyeh) di Stasiun Poncol selama 2 bulan. Yang kedua, dalam rangka angkut-angkut barang juga karena sudah rampung PKL. Tapi yang kedua ini, saya punya sedikit waktu longgar untuk jalan-jalan sebentar di Semarang bersama Bapak dan Ibu saya. Minimal mengunjungi tempat yang menjadi ikon plat H ini. 

***


"Ku ingin ke Lawang Sewu"

     Ya... Memang sudah lama saya ingin menapakkan kaki di Semarang, terutama di Lawang Sewu. Berbagai potret ke-eksotis-an bangunan tua karya arsitek Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Quendag dari Amsterdam ini selalu memancing perhatian saya, termasuk segala kisah misteri yang berada di belakangnya (Berani? Nope!). Keinginan itu selalu saya gumamkan sejak jaman jahiliyah. Namun baru bisa terealisasi di jaman now. Untung saya teguh iman dan tidak mengubah keinginan menjadi, "Ku ingin ke Meikarta"





     Setelah menebus tiket masuk seharga Rp 10.000 saja per lembarnya (ini lembar tiket masuk Lawang Sewu bukan lembar saham, bukan pula lembar tiket foto bareng Rando), kami memasuki area halaman depan bangunan yang berlokasi di dekat Tugu Muda Semarang ini. Dari loket, saya bisa melihat sebuah lokomotif tua terpajang di halaman depan. Spot yang pasti akan digemari bocah-bocah cilik, dimana mereka bisa berandai-andai menjadi seorang masinis. Bukan berandai-andai layaknya Rahul yang berlari manja mengejar kereta yang membawa Anjali dalam film Kuch Kuch Hota Hai

     Lalu saya pun berjalan menuju pos pemeriksaan tiket, sembari sesekali mengambil foto gedung dari luar karena cahaya pukul 08.00 masih bagus (kek ngerti aja). Sebelum pos pemeriksaan tiket, terdapat sebuah bangunan kecil yang awalnya saya kira itu adalah pos satpam atau bangunan tidak penting. Setelah mencari info, ternyata bangunan tersebut adalah sumur tua. Kan bahlul, sumur tua dikira pos satpam. Mau menengok ke dalam? Santai, tidak akan ada tubuh nenek "Pengabdi Setan" yang mengapung. 




Wah...ternyata penjaga sumur tua ini si Bruno Mars

***

Gedung A




     Seusai melewati pos pemeriksaan tiket, kami pun masuk ke gedung paling depan yang disebut Gedung A. Lawang Sewu terdiri dari Gedung A, B, C, D, dan E. Sebelum memulai tour, saya sarankan untuk menengok terlebih dulu peta yang terpajang di dekat pos pemeriksaan tiket. Disitu dijelaskan alur pengunjung yang hendak berkeliling Lawang Sewu supaya tidak kebingungan dan lebih jelas saja tujuan hidupnya. 


Mirror wefie di pintu kaca Gedung A

     Memasuki ruangan di Gedung A ini layaknya masuk ke sebuah galeri, dimana banyak terpajang berbagai koleksi foto dan lukisan yang menggambarkan sejarah Lawang Sewu. Bahkan hingga proses renovasi dan perawatannya juga didokumentasikan. Tidak hanya tentang Lawang Sewu, sejarah tentang per-kereta api-an Indonesia turut dipamerkan disini. Salah satunya adalah potret "doeloe dan sekarang" stasiun-stasiun kereta api di Indonesia. Saya suka melihat foto-foto semacam itu. Seperti dibawa lorong waktu, kembali ke masa lampau. Lalu, kenapa isinya tentang kereta api semua?




  


 
     Lawang Sewu, yang dibangun pada tanggal 27 Februari 1904 dan selesai pada bulan Juli 1907, dulunya difungsikan sebagai Het Hoofdkantoor van de Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatscappij atau yang lebih sering disebut kantor NIS. NIS yaitu kantor pusat perusahaan kereta api swasta yang pertama kali membangun jalur kereta api, menghubungkan Semarang dengan "Vorstenlanden" (Surakarta dan Yogyakarta) dengan jalur pertama Semarang-Temanggung 1867. Setelah digunakan sebagai kantor NIS, gedung Lawang Sewu mengalami beberapa kali alih fungsi sebagai berikut:
  • Sebagai kantor Riyuku Sokyuku (Jawatan Transportasi Jepang) di tahun 1942-1945.
  • Sebagai kantor DKRI (Djawatan Kereta Api Republik Indonesia) di tahun 1945.
  • Sebagai markas tentara Belanda pada saat agresi militer di tahun 1946.
  • Digunakan oleh Kodam IV Diponegoro pada tahun 1949.
  • Lalu di tahun 1994, diserahkan kembali kepada kereta api (saat itu PERUMKA, sekarang menjadi PT. KAI).
  • Beberapa tahun kemudian digunakan oleh Dinas Perhubungan.
  • Mulai tahun 2009, dipugar oleh PT.KAI (Persero).  

Paragraf yang sangat berfaedah bukan? 




Lukisan yang menggambarkan tentang stasiun-stasiun  kereta api di Indonesia


     Tidak mengherankan jika di dalam gedung Lawang Sewu banyak sekali dipamerkan segala hal yang berhubungan dengan kereta api. Tidak hanya koleksi foto dan lukisan, terdapat pula beberapa koleksi miniatur kereta api tua, loket, tiket kereta api, alat pencetak tiket jaman dulu, dan lain sebagainya. Jika kalian mencari koleksi Thomas and Friends, mohon maaf salah tempat. Replika lokomotif tua yang terbuat dari kayu juga turut dipajang dan bisa dipakai untuk background foto bagi panjenengan-panjenengan yang hobi berselfie. Oleh sebab itu, ruangan ini dinamakan Ruang Pamer. Sedikit terdengar riya' yha? Yha. 


Miniatur gerbong kereta api 

Miniatur lokomotif kereta api tua

Loket tiket (oke, harus hati-hati ngetiknya, rentan typo, saya takut)

Tiket kereta api jaman dulu

Alat pencetak tiket

Menggemaskan sekali telepon kayu ini. Bawa pulang boleh?
.
Bapakke

Mbokke
Anakke

      Ruang demi ruang saya jelajahi, hingga kemudian saya menghentikan langkah di bawah sebuah tangga besar dan terkagum-kagum dengan apa yang saya lihat. Dinding kaca patri yang menjulang dengan lukisan dan warna yang cantik terpampang di kedua mata saya. Lalu saya menaiki tangga agar bisa melihat lebih dekat. Ini kelewat keren, njir! Menurut saya, ini spot paling menarik di dalam Gedung A. Saya awam seni, jadi yang saya tahu hanya bagus atau tidak. Sudah. 

    Desain hasil tangan J.L. Schouten, seniman kaca asal Belanda ini, memuat makna tersendiri di tiap panelnya (browsing saja ya, terlalu panjang kalau saya tulis disini. Wk). Karena dinding kaca patri ini menghadap matahari, maka agak susah untuk mengambil foto dengan kamera ponsel. Iya, saya getun tidak berhasil mengambil foto dinding kaca patri tersebut karena backlight. Kamera ponsel saya tidak mampu menangkap detail kecantikan lukisan dan warnanya. Sempat mendengar dari seorang guide yang sedang mendampingi rombongan wisatawan yang berada di sebelah saya, bahwa dinding kaca patri ini hanya bisa dipotret dengan menggunakan kamera profesional. Mungkin kamera ponsel bisa, tapi kamera ponsel dua belas juta. Okeoce, tunggu saya masuk Alexis dulu. 

      Puas mengagumi ornamen cantik tersebut, saya pun menoleh ke belakang. Ternyata ada tangga untuk menuju lantai 2. Namun, akses tersebut ditutup. Ada papan larangan masuk yang terpasang di dua tangga yang berada di sisi kanan dan kiri tangga besar. Sayang sekali, padahal kan penasaran. Tidak ada penjelasan kenapa lantai 2 tidak dibuka untuk umum. Tapi tetap tidak boleh melanggar aturan karena saya sempat baca tata tertib pengunjung, salah satunya tidak boleh membuka ruangan yang tertutup. Tak kira yang tertutup hanya bengkel ketok mejik

     Ada satu lagi ruangan yang tidak dibuka untuk umum di gedung ini. Saya sempat melihat ruangan yang mirip seperti ruang tamu, lengkap beserta kursi dan meja. Ruangan ini hanya dapat dilihat dari luar. Tidak ada informasi apakah ruangan ini dulunya memang dipakai untuk menjamu tamu atau tidak. Sebelum beranjak dari Gedung A, jangan melewatkan untuk berfoto dengan latar deretan pintu bergaya lawas dan berwarna cokelat tua yang memanjang ke belakang. Spot ini menjadi salah satu spot ikonik di Lawang Sewu. Selain itu, berfoto dengan background miniatur Benteng Willem I juga sangat pas untuk menambah koleksi foto di galeri ponsel kalian. Benteng Willem I atau yang lebih dikenal dengan nama Benteng Pendhem Ambarawa, merupakan bangunan bersejarah peninggalan Belanda yang terletak di Ambarawa. 

     Dari dipamerkannya miniatur kereta api hingga benteng, kalau boleh saya bilang, wisata Lawang Sewu akan lebih cocok sepaket dengan Museum Kereta Api Ambarawa (lalu saya seperti ditampar sempak Hulk sebagai pengingat kalau belum rampung juga menulis soal Museum Kereta Api Ambarawa, padahal sudah dari jaman Andika Kangen Band masih perjaka). Jika di Lawang Sewu kita hanya bisa melihat miniaturnya saja, di Museum Kereta Api Ambarawa kita bisa melihat wujud asli si kereta tua. Benteng Willem I pun bisa juga disinggahi karena lokasinya tidak terlalu jauh dengan Museum Kereta Api Ambarawa. Tapi saya juga belum pernah ke bentengnya ding. Mbok aku dijak...





Hweee... Melu-melu

Hweee... Melu-melu



Next: Lawang Sewu, Sebuah Lorong Waktu (Part 2)