Jumat, 23 September 2016

Mendaki "Surganya" Kulonprogo (Part 2)




     Selembar uang bergambar Tuanku Imam Bondjol saya serahkan kepada mbake penjaga loket masuk Kalibiru. Kalian hanya perlu modal Rp 5.000 saja untuk menikmati suguhan alam di tempat ini. Eh, nggak juga ding. Selain duit gocengan, modal untuk ke Kalibiru adalah fisik yang oke. Jadi, dari tempat parkir hingga loket masuk, jaraknya kurang lebih 100m (CMIIW). Deket dong? Deket! Tapi jalannya, yassalam nanjak tidak kira-kira. Ketika sedang duduk-duduk istirahat sebentar di teras salah satu homestay, saya melihat ada mbak-mbak memakai wedges yang duhbiyung tingginya. Betis sehat wal afiat, Mbak? 

     Setelah kami berjalan masuk ke lokasi, ternyata saya menemui juga mbak-mbak lain yang memakai alas kaki dengan hak tinggi. Bukan apa-apa, kalau kejengkang kan bahaya juga. Jadi untuk berkeliling Kalibiru, kalian harus menapaki anak tangga yang lumayan untuk menggugurkan kandungan. Maka dari itu, usahakan memakai alas kaki yang nyaman dan aman. Pokmen disini mainnya naik-turun, naik-turun, naik-turun. Jalannya. 

***
Dengan ini saya sudah sah jadi anak hits dunia akherat ya?


     Naik-turun tangga memang lumayan bikin hidup saya ngos-ngosan (sini makin menua atau karena kelemon?). Tapi kalau demi mendapatkan "sesuatu yang berkelas", libas saja. Iya...di Kalibiru ini kalian akan dimanjakan dengan pemandangan yang super cantik. Perpaduan antara hamparan hijau perbukitan Menoreh, pemandangan Waduk Sermo dari ketinggian, dan laut yang terlihat samar di kejauhan adalah suguhan yang sangat berkelas. Mungkin ini ya yang dinamakan surga? Surga-nya Kulonprogo. Tidak mengherankan kalau tempat ini langsung ngehits di seantero Galaksi Bima Sakti. Sudah murah, "jamuan" yang ditawarkan pun sangat mewah. Mongomong soal murah, kalau kalian hanya ingin santai-santai menikmati pemandangan, ya terbilang murah. Tapi kalau ingin mengabadikan momen dengan berfoto di spot-spot kece, kalian harus membayar lebih.



     
     Spot kece? Yap. Sering kan lihat di Instagram ada foto orang sedang duduk di rumah pohon dengan background hijau perbukitan, birunya air waduk, dan laut nun jauh disana? Itulah "ikon" dari Kalibiru. Tempat ini menyediakan beberapa spot foto dengan berbagai macam bentuk, seperti rumah pohon, spot tampir, spot love, dan lain-lain. Bagi yang ingin berfoto di spot-spot tersebut, kalian harus merogoh kocek Rp 15.000, per spot. Biaya ini adalah biaya untuk naik keatas spot foto saja, beserta pengaman yang wajib dikenakan pengunjung. Biar bakoh dari segala hempasan angin dan gombalan mantan.

     Lalu yang motret kita siapa, dek Tika? Kalau sudah bawa kamera sendiri dan ada teman yang jago motret, bisa memanfaatkan "jasa" teman kalian. Lumayan untuk menghemat saku. Tapi kalau mau hasil foto yang kece, mending mending memakai jasa foto mase Kalibiru sekalian. Kenapa? Karena mereka sudah hafal angle mana yang bagus dan bagaimana settingan kamera agar foto tidak backlight. Untuk hasil fotonya sendiri, dikenakan biaya lagi. Per foto dihargai Rp 5.000 dan pengunjung harus mengambil minimal 4 foto yang nantinya ditransfer dalam bentuk softcopy. Terus sewaktu diatas, dijepret berapa kali? Sak karepe lan sak bahagiane mase sih


"Softcopy itu gimana ya?" ujar mbak-mbak pengunjung di sebelah saya yang menggenggam ponsel pintar apel krowak. 

    Saya pun tidak mau ketinggalan untuk berfoto di spot-spot tersebut. Setelah berkeliling terlebih dahulu, akhirnya pilihan saya jatuh di spot tampir. Lucu saja, bentuknya bundar. Ok, nice info. Selain itu, spot tampir ini antreannya tidak begitu banyak. Mungkin karena letaknya agak ndhelik. Iya, untuk berfoto di spot foto Kalibiru, sabar adalah koentji. Antreannya banyak, sis! Kami pikir kalau kesini di hari kerja bakalan sepi. Jebul ramai juga dan kami harus menunggu sekitar 30-45 menit. Bahkan kalau weekend atau hari libur nasional, antreannya bisa sampai 4 jam. Alig!

*** 

"Yooo... lanjut! Yooo... Yeezy gua udah siap yooooo!" kata mase petugas.

     Pengunjung sebelum kami pun dipersilakan naik keatas spot tampir. Sementara itu, si mbak petugas menyiapkan printilan alat pengaman (namanya apa sih?) untuk dipasangkan di badan saya dan Dista karena antrean selanjutnya adalah jatah kami. Sekitar 15 menit menunggu, tibalah giliran kami untuk berfoto-foto anggun. 

"Sik...sik, mas", kata saya dengan sedikit raut muka takut-takut bodoh ketika menaiki tangga. 

     Maklum, membawa 60kg (10kg berat badan dan 50kg beban hidup) keatas cukup bikin usus saya breakdance. Bahkan ketika sudah sampai diatas, mau berdiri saja agak ngewel. Sebenarnya tidak terlalu tinggi juga, tapi saya sedikit parno. Mungkin beda cerita kalau badan ini serata Awkarin. 

     Pertama, kami difoto bareng dengan berbagai gaya. Selanjutnya, secara bergantian kami difoto sendiri-sendiri. Jangan takut mati gaya, karena mase akan mengarahkan kalian. Mulai dari gaya ala Manohara, Dian Sastro, Raisa, Isyana, hingga gaya kebelet pipis ala Marilyn Monroe. Hasilnya dong! Ala Dijah Yellow! Owsem.



Ijk cantik kan? 

     Setelah dirasa cukup, kami pun turun. PR lagi! Posisi turun ternyata lebih riweuh ketimbang naiknya. Saya bingung, posisi badan harus menghadap ke depan atau ke belakang? Posisi tangan harus dimana? Posisi kaki berpijak di kepala siapa? Kepala atau kaki duluan yang turun? Maseee...iki piyeeee?

     Karena dulu saya anak bus tingkat dewa, saya selalu mengingat pesan abang kondektur tercinta, 

"Kalau mau turun, kaki kiri dulu ya, beb..."

     Baiklah, saya turunkan kaki kiri saya terlebih dahulu. Tapi bodohnya, dengan posisi badan menghadap ke depan. Kalau pegangan ini saya lepas, njlungup. Auk ah...saya pun turun sekenanya, meski harus "membokongi" si mas petugas yang berjaga di tangga. Monmaap ya, Mas. Anggap saja dapat berkah bempernya Kim Kadarshian.   

  



     Selain adanya spot-spot untuk berfoto, Kalibiru juga menawarkan fasilitas flying fox bagi pengunjung yang ingin menguji adrenaline. Sepertinya seru, karena kalian harus berjalan diatas satu tali dan meniti jembatan kayu terlebih dahulu, baru kemudian siap meluncur. Sayang, saya belum sempat menjajal permainan tersebut. 





***

     Penataan fasilitas di Kalibiru ini sudah cukup bagus. Tersedia banyak warung makan yang bisa kalian singgahi. Jadi untuk urusan perut, aman lah. Beberapa warung makan juga bisa kalian temui di dalam lokasi (di dekat spot-spot foto). Jadi bisa makan sembari menikmati pemandangan alam yang eksotis. Toilet dan musholla juga sudah ada. Selain itu, tersedia pula beberapa homestay di Kalibiru. Sayangnya, saya lupa mencari info mengenai harganya. 

     Bagi yang ingin berkunjung ke Kalibiru, akses jalan hanya bisa dilewati motor dan mobil. Bus besar tidak bisa masuk karena jalannya terlalu sempit, berkelak-kelok dengan tanjakan dan turunan tajam. Memakai kendaraan pribadi pun, terutama mobil, juga tetap ekstra hati-hati dengan medan jalan yang seperti itu. Intinya, kalau mau ke Kalibiru, harus memastikan kendaraan kalian waras. Yang menjadi poin plusnya adalah adanya petugas yang berjaga di beberapa titik dan saling berkoordinasi, termasuk dengan petugas parkir di Kalibiru. Tujuannya adalah untuk memantau, mengatur, dan memastikan kalau tidak ada mobil yang berpapasan dari arah berangkat maupun arah pulang. Menurut saya, jalan yang terlalu sempit dan berkelak-kelok cukup membahayakan jika dilalui dua mobil dari arah berlawanan. Keblowok sedikit, die!  Ditambah dengan belum adanya pagar pembatas di sisi jalan yang berhadapan langsung dengan jurang. Sumprit, kuwi horor. Tapi jalannya sendiri sudah bagus dan mulus kayak kulit embak-embak byuti ples

Berikut ini rute ke Kalibiru:
Dari arah Jogja (bisa ditempuh 1-1,5 jam)
Dari Tugu Jogja cari arah ke Kulonprogo / Purworejo - kalau sudah sampai Kulonprogo cari papan petunjuk arah ke Sermo (dari jalanan utama belok kanan) - melewati rel kereta api - Pasar Sentolo - ada SPBU besar di kanan jalan - masih lurus - pertigaan kedua belok kanan - lurus - sampai di pertigaan - lurus (arah ke Clereng) - melewati pasar - jembatan - setelah jembatan ambil arah kiri - lalu tinggal lurus saja mengikuti papan petunjuk bertuliskan Kalibiru. 

Dari arah Waduk Sermo
Mengikuti jalan yang mengelilingi waduk, nanti kalian akan menemukan papan petunjuk arah ke Kalibiru. Hati-hati jalannya juga menanjak dan sempit. 

Dari arah Solo (bisa ditempuh 3-3,5 jam):
Bisa lewat jalur Jogja kota atau bisa juga lewat ringroad utara - cari arah ke Kulonprogo / Purworejo - untuk seterusnya sama dengan rute dari Jogja. 

Terimakasih.
Ketjoep!

Nih, tak kasih bonus muka saya. Silakan gumoh...

Mendaki "Surganya" Kulonprogo (Part 1)

Selasa, 16 Juli 2016

"Kalau njenengan sudah pernah ke Wonosari (Gunungkidul), jalannya lebih tinggi ke Wonosari itu, mbak. Kalau sini nggak begitu tinggi, sudah aspalan semua."

***

     Pukul 09.00, kami bersiap-siap untuk mengunjungi salah satu tempat ngehits di Jogja, tepatnya di Kabupaten Kulonprogo. Jadi sedari Senin malam, saya nJogja dan menginap di kos teman saya, Dista. Rencana ke Kulonprogo inipun dadakan, anget-anget, gurih-gurih, nyoiii. Cek Instagram, cari-cari tempat asik di Jogja, lalu... Oke! Kita ke tempat ini!

     Setelah mandi dan dandan-dandan manja, pukul 11.00 kami berangkat naik motor dari daerah Monjali. Iya, ini sudah terlalu siang dan sedikit bunuh diri pergi ke tempat tersebut di tengah hari bolong. Tapi semua terkalahkan oleh rasa penasaran. Lha wong tempat ini juga masuk ke wishlist saya. Makhluk planet mana yang mau melewatkan pemandangan hijau perbukitan Menoreh yang terhampar luas? Haram jika tidak dinikmati.





***

     The Jewels of Java, begitu bunyi slogan Kulonprogo yang menyambut kami. FYI, kami berdua tidak tahu jalan sama sekali, jadi bekalnya bismillah kenceng dan tanya orang saja. Memasuki jalanan desa menuju lokasi tersebut, kami mampir di salah satu warung soto untuk sarapan (yang dirapel makan siang). Lumayan lama menunggu datangnya dua mangkok soto. Tapi tidak selama proses perceraian Ahmad Dhani dan Maia Estianti. Mungkin bu'e nandur thokolan dulu. Begitu datang, porsinya dong...jumbo parah! Rasanya? Emm...6 lah.

     Di sepanjang jalan, saya melihat banyak warung yang menjual geblek tempe. Pun dengan warung soto yang kami datangi ini. Geblek tempe merupakan makanan khas Kulonprogo. Saya penasaran seperti apa wujud geblek tempe, tapi sayangnya si ibu soto (pemilik warung soto) sedang tidak membuat penganan tersebut. Geblek sendiri terbuat dari tepung...emm...tepung...saya lupa penjelasan si ibu soto. Pokmen sekilas yang saya tangkap, geblek itu semacam cireng. Tapi untuk perkara rasa, saya kurang tahu. Nah, dinamakan geblek tempe karena geblek tadi disajikan hangat-hangat bersama tempe benguk. Hmm...sepertinya enak karena saya penyuka tempe benguk, apalagi keripik tempe benguk khas Wonogiri. Juarak! Kelar makan, kami melanjutkan perjalanan yang bau-baunya sudah dekat dengan lokasi yang akan kami tuju.

"Kalibiru masih jauh, Bu?" tanya saya kepada si ibu soto.
"Ndak, Mbak. Sudah deket kok," jawab si ibu.
"Jalannya nanjak banget nggak, Bu? Sudah bagus?" saya kembali bertanya.
"Kalau njenengan sudah pernah ke Wonosari (Gunungkidul), jalannya lebih tinggi ke Wonosari itu, mbak. Kalau sini nggak begitu tinggi, sudah aspalan semua," jelas si ibu.

***

     Ya...Wisata Alam Kalibiru, salah satu lokasi wisata di Kulonprogo yang beberapa waktu belakangan lagi in banget. Saya kan anaknya telat gawl, jadi baru sempat sekarang ini menyambangi. Biasanya saya agak malas kalau ke tempat-tempat mainstream, karena sudah pasti ramai. Cuma berhubung kami perginya di hari kerja, jadi ya ayo-ayo saja. Seperti yang saya bilang tadi, rasa penasaranlah yang membawa kami "mendaki" jalanan Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, DIY, lokasi Wisata Alam Kalibiru (kepanjangan, selanjutnya akan saya sebut "Kalibiru" saja) berada.




     Kata-kata si ibu soto tadi cukup ngayem-ngayem, karena kami benar-benar tidak tahu medan jalannya seperti apa. Menurut saya pun, jalanan Wonosari tidak begitu tinggi. Jadi kalau ke Kalibiru aman lah, pikir kami. Tidak terlalu jauh, terlihat papan petunjuk arah bertuliskan Kalibiru dan ada seorang petugas yang berjaga di pinggir jalan. Kami pun mengikuti jalan sesuai arahan papan tersebut. Dan kalian tahu? Jalanannya nanjak parah! Dista yang bawa motor dan harus membawa "sekarung dosa" di jok belakang. 

     Bu'...ibu'...katanya nggak lebih tinggi dari Wonosari, Bu'? Lah ini mah tanjakannya kagak santai banget, bosque! Untungnya, lokasi Kalibiru tidak terlalu jauh dari jalan masuk tadi. Sekitar 10-15 menit (kalau tidak salah), kami sudah sampai di lokasi parkir Kalibiru. Saya sarankan, cari tempat parkir dibawah saja, karena lebih aman. Kalau parkir diatas, jalanannya terlalu menanjak. Pintar-pintarnya di sopir juga sih. Setelah memarkir motor, kami masih harus berjalan "mendaki" tanjakan yang super bikin usus terburai. 

Rabu, 22 Juni 2016

Ber-sunbathing di Nglanggeran

Sabtu, 16 Mei 2015




"Nglanggeran?" tanya mereka dengan raut muka heran penuh tanya.
     Ya...begitu ekspresi orang-orang ketika saya bilang mau ke Nglanggeran. Orang-orang? Bukan, saya bukan woro-woro ke orang-orang, "Woey, saya mau ke Nglanggeran lho!". Tidak tidak, bukan. Jadi ketika saya akan berangkat, banyak tetangga-tetangga saya tanya "Mau kemana?". Yasudah tak jawab, "Mau ke Machu Picchu nih!". Terus ini kowe ngomongke apa, Tik?

     So, apa itu Nglanggeran? Ternyata banyak yang belum tahu. Untuk para penghuni kota romantis se-Indonesia, Jogja, nama Nglanggeran sudah tidak asing di telinga. Nglanggeran adalah nama sebuah desa di Kabupaten Gunungkidul, DIY. Orang-orang mengenal Nglanggeran karena gunung api purba-nya. Ya...Gunung Api Purba (GAP) Nglanggeran memang sedang ngehits beberapa waktu belakangan. Konon katanya view dari puncaknya itu parah cantiknya. Jadi kalau kamu belum pernah ke GAP Nglanggeran, itu artinya kamu anak cupu! (Ngomong sama diri sendiri). Sebenarnya saya ingin sekali ke GAP Nglanggeran, tapi belum ada yang mau diajak trekking keatas. Kalau diajak berumah tangga, mau? 

     Tapi, apakah Nglanggeran hanya sebatas GAP saja? Masih ada beberapa tempat wisata lain di Desa Nglanggeran, seperti Air Terjun Kedung Kandang, Njurug Talang Purba, dan Kebun Buah Nglanggeran. Nah, yang akan saya datangi kali ini adalah Kebun Buah Nglanggeran atau yang lebih dikenal dengan nama Embung Nglanggeran.

    Rasa penasaran membawa saya dan teman-teman (Amer, Sekar, dan Yuli) untuk menyambangi Embung Nglanggeran. Weekend, ke Gunungkidul, dan lewat jalan kota, bukanlah pilihan yang tepat. Sudah dipastikan Jl. Solo-Jogja bakalan padat. Biasanya, di antrean lampu bangjo Prambanan, sering "tidak manusiawi" macetnya. Kenapa kami lewat kota padahal biasanya lewat jalan alternatif via Tawangsari, Sukoharjo? Ini semua karena Yuli. Kami harus menjemput Yuli terlebih dahulu di Kartasura, dimana rumahnya dekat dengan JL. Solo-Jogja. Ini semua salah Yuli! YULI! Y-U-L-I!  

    Setelah semua siap, kami berempat berangkat, motoran. Tak ketinggalan, saya "nyangking" kertas ancer-ancer rute ke Embung Nglanggeran. Yaelah...yahgini masih pakai kertas? Konvensional amat? FYI, saya memang masih menganut tradisi kehidupan jaman Fir'aun masih dibedong, dimana kertas dan bolpoin penting keberadaannya. Saya tidak terlalu suka ketika di jalan harus buka-buka ponsel untuk lihat rute. Saya corat-coret postingan blog saja masih tulis tangan. 

     Ini rute yang kami tempuh: Karanganyar - Solo - masuk Jl. Solo-Jogja - lampu merah Candi Prambanan ambil arah kiri (Piyungan) - lurus sampai lampu merah pertigaan (kalau ambil kiri ke arah Gunungkidul dan kanan ke arah Bantul) - ambil arah kiri - melewati Bukit Bintang Pathuk - perempatan setelah Radio GCD FM ambil arah kiri (menuju Desa Ngoro-oro) - melewati deretan tower-tower pemancar stasiun TV - pertigaan setelah Puskesmas Pathuk II ambil arah kanan - melewati depan pos masuk pendakian Gunung Api Purba Nglanggeran - lurus saja - ikuti papan petunjuk ke Kebun Buah Nglanggeran. 

     Sekitar pukul 11.00, kami tiba di gapura masuk bertuliskan Kebun Buah Nglanggeran. Tapi, itu belum sampai lokasi embungnya. Setelah membayar tiket masuk seharga Rp 5.000 per orang dan parkir motor Rp 2.000, kami masih harus menyusuri jalanan berbatu, terjal, dan berkelak-kelok. Sebentar saja, tapi tetap harus hati-hati. Akhirnya sampai juga kami di parkiran Embung Nglanggeran yang sungguh terlihat "cerah" (baca: panas). Jangan buru-buru bete karena panasnya gila-gilaan. Coba lihat view di sekitar parkiran. Keren! 


Parkirannya "gersang", cuy...



     Sebelum ke embung, kami berhenti di salah satu warung dekat parkiran untuk beristirahat sebentar. Selang beberapa menit kemudian, kami langsung berjalan menuju ke embung yang berlokasi di Dusun Nglanggeran Wetan, Desa Nglanggeran, Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunungkidul ini. 

"Mana embungnya?" tanya Yuli.
"Noh...diatas!" sahut saya.
"Naik tangga itu?!" lanjutnya dengan nada terkejut.
"Iya," jawab saya sembari membenarkan tudung jaket untuk menutupi kepala saking teriknya.
...kemudian Yuli pingsan, lalu saya seret...



     Iya, embungnya memang berada diatas bukit, dimana kami harus menaiki berpuluh-puluh (atau bahkan ratusan) anak tangga terlebih dahulu. Untuk yang capek, disediakan beberapa gazebo yang bisa dipakai untuk menghela nafas sejenak. Sebenarnya yang bikin capek adalah cuaca yang gokil parah panasnya. Yasalahlu, ke embung siang-siang. Memang, waktu terbaik untuk menikmati Embung Nglanggeran itu ketika sore hari. Sekalian nyurup romantis, karena senja disini katanya cantik. Tapi, karena kami berempat cewek-cewek dan sedikit cupu untuk pulang terlalu malam, jadinya siang-siang saja. Petualang level guguran ketombe kita mah. Tetapi sesampainya diatas, lelah kalian akan terbayar dengan view di sekitar. Ya...banyak orang pacaran. Aja terus baper. Shantay. Lemesin, shay...


Apa itu Embung?

     Banyak yang belum tahu apa itu "embung". Bukan "Embung aku, Mas! Embung aku!" ya. Embung adalah semacam telaga buatan. Kalau di Embung Nglanggeran ini, airnya berasal dari air hujan. Lalu kalau pas tidak hujan? Mungkin ada sumber air yang lain, karena saya melihat ada pipa-pipa yang mengalirkan air ke dalam embung. Air yang ditampung di dalam embung tersebut selanjutnya dimanfaatkan untuk mengairi kebun buah yang ada di sekitarnya.




     Embung Nglanggeran ini tidak terlalu luas. Di pinggiran, terdapat jalan setapak untuk memudahkan para pengunjung yang ingin berjalan mengelilingi embung. Siang-siang kesini itu bisa dibilang "sunbathing". Gile lu, Ndro! Panas abis, Ndro! Buat yang suka tanning (mbuh istilahe bener ora) biar kulitnya se-eksotis Mbak Farah Quinn, cocok sekali. Sementara untuk yang tidak betah berpanas-panasan, terdapat beberapa gazebo yang bisa dipakai untuk berteduh. Dan kami telat! Gazebo sudah penuh semua. Yasudah, mari kita berjemur. 

     Gazebo di sekitar embung penuh semua karena memang itu spot asik untuk bersantai sekaligus menikmati view di Embung Nglanggeran. Sekali lagi, waktu terbaik untuk datang kesini memang sore hingga malam hari. Sore hari kalian dapat menangkap senja dan malam hari dapat suasana romantisnya. Iya, ketika malam tiba, temaram lampu yang terpasang di sekeliling embung menciptakan suasana romantis. Kamu ndak mau ngajak aku ta, Mas?




Tuh..si bapak sampai krukupan ember, saking panasnya.


Apa yang bisa dilakukan di Embung Nglanggeran?

     Sebenarnya kegiatan yang bisa dilakukan di Embung Nglanggeran itu terbatas. Apalagi kalau siang-siang panas seperti ini. Tidak ada hal menarik yang kami lakukan, selain duduk menikmati pemandangan alam sembari sesekali foto-foto untuk di-upload di Instagram (saya sering kebalikannya). Kalian bisa naik sedikit ke bukitnya agar lebih leluasa memanjakan mata dengan pemandangan sekitar. Tapi saya tidak leluasa, karena suasananya ramai sekali. Di bukit ini juga bisa dipakai untuk ngecamp, begitu kata papan yang terpasang. 


Kiyer-kiyer



Yuli

Amer

Dian Sastro.

     Di embung kita tidak bisa basah-basahan manja gitu? Minimal, duduk-duduk anggun di pinggir embung sembari basahin kaki. Nah...hal itu terkait dengan beberapa peraturan yang wajib dipatuhi pengunjung Embung Nglanggeran, yakni:
  1. Dilarang berenang di embung,
  2. Dilarang membuang atau melempar apapun ke dalam embung, 
  3. Dilarang masuk atau duduk di dalam pagar embung, dan
  4. Dilarang membuang sampah sembarangan. 

Yang boleh berenang cuma ini.

     Sudah jelas ada peraturan seperti itu, jadi jangan dilanggar. Tidak ada acara main-main air segala. Tapi saya sempat melihat dua orang bapak-bapak nyebur ke embung pakai life vest. Saya tidak tahu mereka siapa. Yang saya tahu cuma Hamish Daud itu keren parah. Udah. Kalau pegawai embung, kok mereka tidak melakukan aktivitas apa-apa, malah ketawa-ketiwi bahagia. Kalau pengunjung, apa peraturan yang tertera kurang jelas? Sudah, foto-foto saja. 


Yuli, kang poto keliling.

Sekar

Raisa.

     Peringatan juga bagi yang hobi motret, usahakan untuk tidak memotret dengan posisi terlalu dekat dengan embung. Terlebih bagi yang tangannya suka tremor-tremor jahanam. Embung ini mempunyai kedalaman sekitar 3-4 meter, begitu samar-samar yang saya dengar dari petugas melalui pengeras suara. Kalau kamera atau henpon kalian terjun bebas ke air, tamat sudah. 

     Menyoal fasilitas, di Embung Nglanggeran ini fasilitasnya belum terlalu komplit. Toilet oke, sudah ada banyak. Warung makan, seadanya saja. Bukan warung makan yang menunya komplit, tapi lebih seperti angkringan. Buat saya sih tidak masalah. Angkringan for life! Untuk mushola, saya tidak lihat atau mata saya yang siwer? Kebetulan saya sedang berhalangan, jadi tidak begitu ngeh dimana letak musholanya. Tempat parkir, luas! Bus pun muat. Tapi sayangnya, bus besar tidak bisa masuk kesini. Akses jalan yang sempit dan berbatu hanya bisa dilewati motor dan mobil saja. 


Seperti ini akses jalannya.

Keblasuk

     Oke, setelah merasa kulit sudah cukup eksotis, kami segera pulang. Di perjalanan pulang ini lah petualangan dimulai. Keluar dari lokasi Embung Nglanggeran, kami pede saja mengikuti jalan yang ada. Ikut mobil yang jalan di depan kami sih sebenarnya. Ya karena tak kira jalannya juga sama seperti waktu berangkat. Begitu sudah ketemu jalan raya, "KYAAAAA! KOK BEDA?! INI DIMANDOSE??!!". Iya, tidak tahu bagaimana ceritanya, kami sampai di jalan yang berbeda dengan pas berangkat. Tenang, ini bukan cerita horor kok. Tengak-tengok, ada papan petunjuk arah untuk ke Jogja dan Cawas (Klaten). Kalau mau cari aman ya mengikuti arah Jogja. Tapi kami ingin jalur yang cepat sampai dan malas juga harus menerabas padatnya Jl. Jogja-Solo seandainya lewat jalur kota. Akhirnya kami tanya orang arah ke Cawas, yang mana itu jalan alternatif untuk sampai Solo. Lewat jalan alternatif itu minusnya satu, minim papan petunjuk arah. Cukup membingungkan, apalagi bagi yang tidak tahu jalan, seperti kami. So, tiap sampai di persimpangan, kami selalu tanya orang. Niatnya ingin cepat sampai rumah, tapi malah muter-muter karena buta arah. Luwe sisan. Padahal biasanya saya bahagia lahir batin lho kalau keblasuk. Kita jadi tahu daerah-daerah baru yang tidak kita kenal sebelumnya. Tapi ternyata lapar turut mempengaruhi mood juga. Mhehehe...

     Kami sempat melewati daerah...emm...embuh saya tidak tahu daerah mana, pokmen jalannya menurun tajam (lebih tajam dari mulut saya) dan di sisi kanan disuguhi view sawah-sawah dari atas. Kece parah! Nah itu, saking terpesonanya, saya sampai tidak siap ketika jalanan menurun. Tak kira turunan biasa, lah kok ini "ngglondor" banget? Direm atau tidak, sama saja e. Amit-amit, saya sudah sampai membayangkan yang aneh-aneh sembari terus komat-kamit berdoa. Bentuk jalannya sendiri (bentuk jalan???) menurun dan berkelok. Begitu sampai di kelokan terakhir, ada mobil dari arah berlawanan. 


"Iki piye?!", saya pun heboh sembari mikir "Duh, belum kawin... eh, nikah lagi!".

     Sampai kemudian saya lihat ada gang di sisi kiri. Tanpa pikir panjang, saya langsung membelokkan motor ke gang tersebut. Orang-orang kalau lihat, saya yakin mereka akan komen "Cah wedok numpak motor yak-yakan". Bodo amat dah. Yang penting, alhamdulillah saya dan Sekar tidak kenapa-kenapa. Paling ginjal twerking. Saya tahu, kalian mengharapkan cerita ini lebih dramatis kan? Bukan antiklimaks seperti ini kan? Yakan? Jiwit!

     Saya pakai motor matic, btw. Tidak tahu ini kesalahan motor saya yang remnya kurang maksimal atau saya yang bego kelas atas dalam mengendarai motor. Yang terpenting, kemanapun kalian pergi, mau dekat atau jauh, mau lama atau sebentar, mau sama pacar atau mantan, usahakan untuk selalu cek kondisi kendaraan. Cek kondisi kendaraan, bukan kondisi mantan.




Terimakasih.
Ketjoep!



UPDATE:
     Setelah mencari info kesana-kemari, saya pun menemukan kesalahan kenapa motor saya melaju tak terkendali. Kesalahan 80% dari saya sendiri. Si bego ini tidak tahu kalau naik motor matic di turunan dalam kondisi tidak di-gas alias posisi netral dan hanya mengandalkan rem saja, bikin proses pengereman tidak maksimal. Nah, saya main lepas gas begitu saja dan cuma main rem. Ya...bablas! Soale di pikiran saya, kalau gas dikosongkan maka laju kendaraan akan melambat. Tapi ternyata itu tidak berlaku untuk kendaraan matic, Tuan Nona. Turunan, gas kosong, nyelonong...

     Jadi, sedikit tips saja untuk para pengendara motor matic. Sewaktu melewati jalanan menurun, jangan sekalipun lepas gas. Dikurangi saja, sembari menekan tuas rem secara bersamaan. Jangan pula melepas rem kalau masih di turunan. Begitu dari artikel-artikel yang saya baca. Tolong dibenarkan kalau saya salah. Wong saya ini anaknya sotoy berat. Maklum tidak suka hal yang berbau teori. Naik motor ya asal tancap saja. Payah kan? Iya. 

     Kesalahan 80% dari saya, lalu sisanya dari siapa? 10% dari medan jalannya. Sebelumnya jalanan datar, kenapa tiba-tiba ada "surprise" jalanan menurun tajam? Kan eug kaget. 5%   dari view sekitar yang hacep. Kan eug jadi terlena. Sisa 5%, dari siapa lagi ya? Ah! Mobil yang melaju dari arah berlawanan. Bikin ginjal twerking! Pokmen itu. Kesalahan bukan dari saya saja ya? Oke. 

Minggu, 12 Juni 2016

Ber-Sabtu Malam-an di Sadranan (Part 2)




     Di depan kami, segerombolan mas-mas bertelanjang dada sedang asyik menendang dan melempar bola sembari tertawa lepas. Bahagia, tanpa beban. Lain kali pakai miniset ya, Mas. Itu teteknya kendor, lari kesana-kemari. Ada pula gerombolan mas-mas lain yang sibuk mengais pasir pantai untuk "mengubur" temannya (gojekan jaman Warkop de-ka-i belum kenal luwak weit kofi). Tidak jauh dari mereka, banyak anak kecil kegirangan bermain ciprat-cipratan air pantai sembari sesekali meringis keasinan. Ada pula tiga orang cewek-cewek centil dengan muka pucat tanpa gincu dan pensil alis, sibuk mengarahkan lensa kamera untuk mendapatkan pose selfie terbaik. Dari arah parkiran, satu-persatu pengunjung mulai berdatangan dengan menenteng kamera dan tongsis kebanggaan. 

     Jarum jam memang masih menunjukkan pukul 06.00, tapi suasana pantai sudah mulai ramai. Ramai sekali. Kami pun mulai beberes tenda dan perintilan-perintilan lainnya. Jangan lupa bereskan sampah dan buang ke tempatnya. Selesai beberes, barulah kami berjalan-jalan menikmati pantai di pagi hari. Pantai Sadranan ini cantik dan cukup bersih. Saya, sangat suka! Ya meskipun masih ada satu-dua sampah yang berserak. Di sisi timur, ada batu karang besar yang berada di tengah-tengah. Kalau sewaktu air surut, katanya kita bisa jalan menyeberang dan naik kesana. Tapi yang jadi PR, sewaktu sudah diatas lalu tiba-tiba air kembali pasang, njuk mulihmu piye?







Photo by: Sugeng






Ini anak semalaman ngajak cari ikan mulu. Ngidam iwak ra ketulungan.  (Photo by: Sugeng)
     
     Masih di sisi timur pantai, ada tebing yang sepertinya bakal seru kalau kita naik ke atas sana. Dari bawah, tebing ini sudah sangat foto-able. Anak tangganya didesain sedemikian rupa dengan ornamen batu-batuan dan tanaman-tanaman cantik di kanan-kirinya. Katanya, diatas tebing terdapat bangunan villa mewah, tapi sudah lama tidak dipakai. Hmm...penasaran. 









Photo by: Sugeng

Spot terasoy di Pantai Sadranan


     Wow! Begitu sampai atas tebing, view pantai dan laut lepas terbentang di depan mata. Mata kami serasa dimanjakan. Di sisi kanan Pantai Sadranan, saya bisa melihat Pantai Slili dan Pantai Krakal. Sedangkan di sisi kiri, ada Pantai Ngandong dan Pantai Sundak yang tidak kalah ciamik. Lalu pandangan saya tertuju pada kamar-kamar villa yang memang nampak tak terurus. Padahal "surga" sekali ini, ada villa diatas tebing dengan view laut lepas. Kemudian ada satu lagi bangunan besar, seperti aula atau tempat makan villa (saya kurang tahu), yang justru masih bagus dan rapi. Tapi tidak ada orang sama sekali di dalam. Kurang tahu apakah villanya masih sering dipakai atau tidak.


View sisi kanan Pantai Sadranan

Idem

View sisi kiri Pantai Sadranan

Percayalah, ini kacanya yang burem. Bukan muka kita-kita yang belum mandi ini yang burem.

Yuli

Amer


Gal Gadot

***

     Banyak yang bisa dilakukan di Pantai Sadranan ini. Kalian bisa main layangan, karena ada yang menjajakan layangan di pantai. Beberapa gazebo yang berderet di pinggir pantai juga seakan melambai-melambai dan berteriak manja "Hey...come to me, baby!". Cocok untuk yang ingin pacaran. Hanya dengan Rp 20.000, gazebo ini bisa disewa sepuasnya. Bahkan juga bisa disewa semalaman penuh, jika kalian ingin ngecamp tapi tanpa tenda. Kata mase yang dari komunitas vespa Jogja itu, harga sewanya Rp 20.000 juga untuk semalaman. Kemudian bagi yang ingin menikmati kecantikan bawah air Pantai Sadranan, bisa mencoba snorkeling dengan merogoh kocek Rp 50.000, durasinya 2 jam. Atau kalian mau keplek ilat alias makan-makan saja? Bisa! Di Pantai Sadranan sudah terdapat banyak warung makan dengan menu utama ikan dan olahan seafood lainnya.








     Sementara bagi yang ingin bermalam, disini sudah banyak penginapan dengan tarif yang berbeda-beda. Atau mau merasakan bermalam dibawah tenda seperti kami, tapi kalian tidak bawa tenda? Kalian bisa menyewa tenda di pantai untuk kemping di area camping ground, yang terletak di bawah tebing bagian timur. Nah...sebenarnya kami fail nih kemping di Pantai Sadranan, karena pantainya sudah ramai dan tertata sekali. Bukan apa-apa, tapi "feel" kempingnya sedikit hilang. Oiya, untuk keperluan ke belakang alias toilet, kami hanya membayar Rp 5.000 untuk semalaman. Tarif itu disarankan oleh ibu-ibu pemilik warung sekaligus kamar mandinya. Hanya dengan lima ribu rupiah sudah bisa pipis sejebolnya. Warung si ibu ada di dekat parkiran, pokoknya yang ada spanduk "Pop Mie". Di Pantai Sadranan ini mungkin kekurangannya hanya satu, yaitu belum tersedia mushola yang memadai. Untuk keperluan sholat, hanya disediakan sebuah kamar sederhana di dekat parkiran, yang menyatu dengan warung makan. 

***

     Sekitar pukul 10.00, kami pulang. Di perjalanan, kami sempat mampir di satu tempat -entah apa namanya-. Tempat ini seperti bukit dengan "krowakan" di tengahnya. Nah, di bawah katanya terdapat 2 goa. Yang satu bisa tembus ke pantai, satunya lagi tembus ke goa yang lain. Tempat ini asyik. Mungkin ada yang bisa kasih info ke saya soal tempat ini? Lokasinya masih di kawasan Gunungkidul. Kalau kalian melewati jalan alternatif Gunungkidul-Solo, pasti melewati. Tapi, karena tempatnya gersang, disarankan untuk tidak kesana pas siang bolong. Bunuh diri, namanya.





Sepertinya goa yang dimaksud adalah bolongan dibawah itu.


In frame: Amer.


     Hanya sebentar saja kami mampir, kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Melewati jalan pedesaan dengan kanan-kiri pepohonan rindang, cukup "menghanyutkan" kami. Suer! Ngantuk parah! Saya boncengan sama Yuli dan saya yang di depan. Berulang kali, saya cari cara untuk menghalau kantuk. Mulai dari nyubit tangan sendiri, nampar pipi sendiri, nyanyi-nyanyi, ngedance, ngeteh, ngopi-ngopi, udud-udud, main catur, main karambol, main remi, main domino, sampai main dingdong. Kagak ngefek! Bahkan si Yuli di belakang sudah nyender aja. Tidur dia. Seumur-umur, baru kali ini saya naik motor diserang kantuk parah. 

     Beruntung kami segera sampai di rumah Very, di daerah Weru, Sukoharjo. Kami pun mampir untuk istirahat sebentar (baca: minta makan. M-i-n-t-a.). Sekitar satu jam kami goleran di rumah Very. Cukuplah untuk menyegarkan badan dan mata. Karena sudah sore, kami segera pulang. Saya sampai rumah sekitar pukul 17.00, dengan badan asli lengket parah karena tidak mandi. Sudah bayar toilet dan ente tidak mandi, Tik? Males. Sip.

     Menghabiskan Sabtu malam dengan teman, dapat teman baru, dapat pengalaman baru, jadi tahu teman-teman yang pada pinter ngapa-ngapain dan saya yang tidak bisa ngapa-ngapain. Akhir pekan yang menyenangkan. Terimakasih untuk Very dan keluarga yang rela menampung gembel-gembel ini, yang cuma mau numpang makan dan tiduran. 

Terimakasih.
Ketjoep!



Terimakasih, Sadranan...

     Sembari rebahan, saya pun mengambil kamera dari dalam tas dan melihat hasil foto-fotonya. Lalu, tangan saya berhenti mengklik next ketika sampai di salah satu foto. Hmm...not bad uga kita walau tanpa gincu dan pensil alis.


Di kaos saya itu remah-remah pasir pantai ya, bukan ketombe. FYI saja.