Rabu, 22 Juni 2016

Ber-sunbathing di Nglanggeran

Sabtu, 16 Mei 2015




"Nglanggeran?" tanya mereka dengan raut muka heran penuh tanya.
     Ya...begitu ekspresi orang-orang ketika saya bilang mau ke Nglanggeran. Orang-orang? Bukan, saya bukan woro-woro ke orang-orang, "Woey, saya mau ke Nglanggeran lho!". Tidak tidak, bukan. Jadi ketika saya akan berangkat, banyak tetangga-tetangga saya tanya "Mau kemana?". Yasudah tak jawab, "Mau ke Machu Picchu nih!". Terus ini kowe ngomongke apa, Tik?

     So, apa itu Nglanggeran? Ternyata banyak yang belum tahu. Untuk para penghuni kota romantis se-Indonesia, Jogja, nama Nglanggeran sudah tidak asing di telinga. Nglanggeran adalah nama sebuah desa di Kabupaten Gunungkidul, DIY. Orang-orang mengenal Nglanggeran karena gunung api purba-nya. Ya...Gunung Api Purba (GAP) Nglanggeran memang sedang ngehits beberapa waktu belakangan. Konon katanya view dari puncaknya itu parah cantiknya. Jadi kalau kamu belum pernah ke GAP Nglanggeran, itu artinya kamu anak cupu! (Ngomong sama diri sendiri). Sebenarnya saya ingin sekali ke GAP Nglanggeran, tapi belum ada yang mau diajak trekking keatas. Kalau diajak berumah tangga, mau? 

     Tapi, apakah Nglanggeran hanya sebatas GAP saja? Masih ada beberapa tempat wisata lain di Desa Nglanggeran, seperti Air Terjun Kedung Kandang, Njurug Talang Purba, dan Kebun Buah Nglanggeran. Nah, yang akan saya datangi kali ini adalah Kebun Buah Nglanggeran atau yang lebih dikenal dengan nama Embung Nglanggeran.

    Rasa penasaran membawa saya dan teman-teman (Amer, Sekar, dan Yuli) untuk menyambangi Embung Nglanggeran. Weekend, ke Gunungkidul, dan lewat jalan kota, bukanlah pilihan yang tepat. Sudah dipastikan Jl. Solo-Jogja bakalan padat. Biasanya, di antrean lampu bangjo Prambanan, sering "tidak manusiawi" macetnya. Kenapa kami lewat kota padahal biasanya lewat jalan alternatif via Tawangsari, Sukoharjo? Ini semua karena Yuli. Kami harus menjemput Yuli terlebih dahulu di Kartasura, dimana rumahnya dekat dengan JL. Solo-Jogja. Ini semua salah Yuli! YULI! Y-U-L-I!  

    Setelah semua siap, kami berempat berangkat, motoran. Tak ketinggalan, saya "nyangking" kertas ancer-ancer rute ke Embung Nglanggeran. Yaelah...yahgini masih pakai kertas? Konvensional amat? FYI, saya memang masih menganut tradisi kehidupan jaman Fir'aun masih dibedong, dimana kertas dan bolpoin penting keberadaannya. Saya tidak terlalu suka ketika di jalan harus buka-buka ponsel untuk lihat rute. Saya corat-coret postingan blog saja masih tulis tangan. 

     Ini rute yang kami tempuh: Karanganyar - Solo - masuk Jl. Solo-Jogja - lampu merah Candi Prambanan ambil arah kiri (Piyungan) - lurus sampai lampu merah pertigaan (kalau ambil kiri ke arah Gunungkidul dan kanan ke arah Bantul) - ambil arah kiri - melewati Bukit Bintang Pathuk - perempatan setelah Radio GCD FM ambil arah kiri (menuju Desa Ngoro-oro) - melewati deretan tower-tower pemancar stasiun TV - pertigaan setelah Puskesmas Pathuk II ambil arah kanan - melewati depan pos masuk pendakian Gunung Api Purba Nglanggeran - lurus saja - ikuti papan petunjuk ke Kebun Buah Nglanggeran. 

     Sekitar pukul 11.00, kami tiba di gapura masuk bertuliskan Kebun Buah Nglanggeran. Tapi, itu belum sampai lokasi embungnya. Setelah membayar tiket masuk seharga Rp 5.000 per orang dan parkir motor Rp 2.000, kami masih harus menyusuri jalanan berbatu, terjal, dan berkelak-kelok. Sebentar saja, tapi tetap harus hati-hati. Akhirnya sampai juga kami di parkiran Embung Nglanggeran yang sungguh terlihat "cerah" (baca: panas). Jangan buru-buru bete karena panasnya gila-gilaan. Coba lihat view di sekitar parkiran. Keren! 


Parkirannya "gersang", cuy...



     Sebelum ke embung, kami berhenti di salah satu warung dekat parkiran untuk beristirahat sebentar. Selang beberapa menit kemudian, kami langsung berjalan menuju ke embung yang berlokasi di Dusun Nglanggeran Wetan, Desa Nglanggeran, Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunungkidul ini. 

"Mana embungnya?" tanya Yuli.
"Noh...diatas!" sahut saya.
"Naik tangga itu?!" lanjutnya dengan nada terkejut.
"Iya," jawab saya sembari membenarkan tudung jaket untuk menutupi kepala saking teriknya.
...kemudian Yuli pingsan, lalu saya seret...



     Iya, embungnya memang berada diatas bukit, dimana kami harus menaiki berpuluh-puluh (atau bahkan ratusan) anak tangga terlebih dahulu. Untuk yang capek, disediakan beberapa gazebo yang bisa dipakai untuk menghela nafas sejenak. Sebenarnya yang bikin capek adalah cuaca yang gokil parah panasnya. Yasalahlu, ke embung siang-siang. Memang, waktu terbaik untuk menikmati Embung Nglanggeran itu ketika sore hari. Sekalian nyurup romantis, karena senja disini katanya cantik. Tapi, karena kami berempat cewek-cewek dan sedikit cupu untuk pulang terlalu malam, jadinya siang-siang saja. Petualang level guguran ketombe kita mah. Tetapi sesampainya diatas, lelah kalian akan terbayar dengan view di sekitar. Ya...banyak orang pacaran. Aja terus baper. Shantay. Lemesin, shay...


Apa itu Embung?

     Banyak yang belum tahu apa itu "embung". Bukan "Embung aku, Mas! Embung aku!" ya. Embung adalah semacam telaga buatan. Kalau di Embung Nglanggeran ini, airnya berasal dari air hujan. Lalu kalau pas tidak hujan? Mungkin ada sumber air yang lain, karena saya melihat ada pipa-pipa yang mengalirkan air ke dalam embung. Air yang ditampung di dalam embung tersebut selanjutnya dimanfaatkan untuk mengairi kebun buah yang ada di sekitarnya.




     Embung Nglanggeran ini tidak terlalu luas. Di pinggiran, terdapat jalan setapak untuk memudahkan para pengunjung yang ingin berjalan mengelilingi embung. Siang-siang kesini itu bisa dibilang "sunbathing". Gile lu, Ndro! Panas abis, Ndro! Buat yang suka tanning (mbuh istilahe bener ora) biar kulitnya se-eksotis Mbak Farah Quinn, cocok sekali. Sementara untuk yang tidak betah berpanas-panasan, terdapat beberapa gazebo yang bisa dipakai untuk berteduh. Dan kami telat! Gazebo sudah penuh semua. Yasudah, mari kita berjemur. 

     Gazebo di sekitar embung penuh semua karena memang itu spot asik untuk bersantai sekaligus menikmati view di Embung Nglanggeran. Sekali lagi, waktu terbaik untuk datang kesini memang sore hingga malam hari. Sore hari kalian dapat menangkap senja dan malam hari dapat suasana romantisnya. Iya, ketika malam tiba, temaram lampu yang terpasang di sekeliling embung menciptakan suasana romantis. Kamu ndak mau ngajak aku ta, Mas?




Tuh..si bapak sampai krukupan ember, saking panasnya.


Apa yang bisa dilakukan di Embung Nglanggeran?

     Sebenarnya kegiatan yang bisa dilakukan di Embung Nglanggeran itu terbatas. Apalagi kalau siang-siang panas seperti ini. Tidak ada hal menarik yang kami lakukan, selain duduk menikmati pemandangan alam sembari sesekali foto-foto untuk di-upload di Instagram (saya sering kebalikannya). Kalian bisa naik sedikit ke bukitnya agar lebih leluasa memanjakan mata dengan pemandangan sekitar. Tapi saya tidak leluasa, karena suasananya ramai sekali. Di bukit ini juga bisa dipakai untuk ngecamp, begitu kata papan yang terpasang. 


Kiyer-kiyer



Yuli

Amer

Dian Sastro.

     Di embung kita tidak bisa basah-basahan manja gitu? Minimal, duduk-duduk anggun di pinggir embung sembari basahin kaki. Nah...hal itu terkait dengan beberapa peraturan yang wajib dipatuhi pengunjung Embung Nglanggeran, yakni:
  1. Dilarang berenang di embung,
  2. Dilarang membuang atau melempar apapun ke dalam embung, 
  3. Dilarang masuk atau duduk di dalam pagar embung, dan
  4. Dilarang membuang sampah sembarangan. 

Yang boleh berenang cuma ini.

     Sudah jelas ada peraturan seperti itu, jadi jangan dilanggar. Tidak ada acara main-main air segala. Tapi saya sempat melihat dua orang bapak-bapak nyebur ke embung pakai life vest. Saya tidak tahu mereka siapa. Yang saya tahu cuma Hamish Daud itu keren parah. Udah. Kalau pegawai embung, kok mereka tidak melakukan aktivitas apa-apa, malah ketawa-ketiwi bahagia. Kalau pengunjung, apa peraturan yang tertera kurang jelas? Sudah, foto-foto saja. 


Yuli, kang poto keliling.

Sekar

Raisa.

     Peringatan juga bagi yang hobi motret, usahakan untuk tidak memotret dengan posisi terlalu dekat dengan embung. Terlebih bagi yang tangannya suka tremor-tremor jahanam. Embung ini mempunyai kedalaman sekitar 3-4 meter, begitu samar-samar yang saya dengar dari petugas melalui pengeras suara. Kalau kamera atau henpon kalian terjun bebas ke air, tamat sudah. 

     Menyoal fasilitas, di Embung Nglanggeran ini fasilitasnya belum terlalu komplit. Toilet oke, sudah ada banyak. Warung makan, seadanya saja. Bukan warung makan yang menunya komplit, tapi lebih seperti angkringan. Buat saya sih tidak masalah. Angkringan for life! Untuk mushola, saya tidak lihat atau mata saya yang siwer? Kebetulan saya sedang berhalangan, jadi tidak begitu ngeh dimana letak musholanya. Tempat parkir, luas! Bus pun muat. Tapi sayangnya, bus besar tidak bisa masuk kesini. Akses jalan yang sempit dan berbatu hanya bisa dilewati motor dan mobil saja. 


Seperti ini akses jalannya.

Keblasuk

     Oke, setelah merasa kulit sudah cukup eksotis, kami segera pulang. Di perjalanan pulang ini lah petualangan dimulai. Keluar dari lokasi Embung Nglanggeran, kami pede saja mengikuti jalan yang ada. Ikut mobil yang jalan di depan kami sih sebenarnya. Ya karena tak kira jalannya juga sama seperti waktu berangkat. Begitu sudah ketemu jalan raya, "KYAAAAA! KOK BEDA?! INI DIMANDOSE??!!". Iya, tidak tahu bagaimana ceritanya, kami sampai di jalan yang berbeda dengan pas berangkat. Tenang, ini bukan cerita horor kok. Tengak-tengok, ada papan petunjuk arah untuk ke Jogja dan Cawas (Klaten). Kalau mau cari aman ya mengikuti arah Jogja. Tapi kami ingin jalur yang cepat sampai dan malas juga harus menerabas padatnya Jl. Jogja-Solo seandainya lewat jalur kota. Akhirnya kami tanya orang arah ke Cawas, yang mana itu jalan alternatif untuk sampai Solo. Lewat jalan alternatif itu minusnya satu, minim papan petunjuk arah. Cukup membingungkan, apalagi bagi yang tidak tahu jalan, seperti kami. So, tiap sampai di persimpangan, kami selalu tanya orang. Niatnya ingin cepat sampai rumah, tapi malah muter-muter karena buta arah. Luwe sisan. Padahal biasanya saya bahagia lahir batin lho kalau keblasuk. Kita jadi tahu daerah-daerah baru yang tidak kita kenal sebelumnya. Tapi ternyata lapar turut mempengaruhi mood juga. Mhehehe...

     Kami sempat melewati daerah...emm...embuh saya tidak tahu daerah mana, pokmen jalannya menurun tajam (lebih tajam dari mulut saya) dan di sisi kanan disuguhi view sawah-sawah dari atas. Kece parah! Nah itu, saking terpesonanya, saya sampai tidak siap ketika jalanan menurun. Tak kira turunan biasa, lah kok ini "ngglondor" banget? Direm atau tidak, sama saja e. Amit-amit, saya sudah sampai membayangkan yang aneh-aneh sembari terus komat-kamit berdoa. Bentuk jalannya sendiri (bentuk jalan???) menurun dan berkelok. Begitu sampai di kelokan terakhir, ada mobil dari arah berlawanan. 


"Iki piye?!", saya pun heboh sembari mikir "Duh, belum kawin... eh, nikah lagi!".

     Sampai kemudian saya lihat ada gang di sisi kiri. Tanpa pikir panjang, saya langsung membelokkan motor ke gang tersebut. Orang-orang kalau lihat, saya yakin mereka akan komen "Cah wedok numpak motor yak-yakan". Bodo amat dah. Yang penting, alhamdulillah saya dan Sekar tidak kenapa-kenapa. Paling ginjal twerking. Saya tahu, kalian mengharapkan cerita ini lebih dramatis kan? Bukan antiklimaks seperti ini kan? Yakan? Jiwit!

     Saya pakai motor matic, btw. Tidak tahu ini kesalahan motor saya yang remnya kurang maksimal atau saya yang bego kelas atas dalam mengendarai motor. Yang terpenting, kemanapun kalian pergi, mau dekat atau jauh, mau lama atau sebentar, mau sama pacar atau mantan, usahakan untuk selalu cek kondisi kendaraan. Cek kondisi kendaraan, bukan kondisi mantan.




Terimakasih.
Ketjoep!



UPDATE:
     Setelah mencari info kesana-kemari, saya pun menemukan kesalahan kenapa motor saya melaju tak terkendali. Kesalahan 80% dari saya sendiri. Si bego ini tidak tahu kalau naik motor matic di turunan dalam kondisi tidak di-gas alias posisi netral dan hanya mengandalkan rem saja, bikin proses pengereman tidak maksimal. Nah, saya main lepas gas begitu saja dan cuma main rem. Ya...bablas! Soale di pikiran saya, kalau gas dikosongkan maka laju kendaraan akan melambat. Tapi ternyata itu tidak berlaku untuk kendaraan matic, Tuan Nona. Turunan, gas kosong, nyelonong...

     Jadi, sedikit tips saja untuk para pengendara motor matic. Sewaktu melewati jalanan menurun, jangan sekalipun lepas gas. Dikurangi saja, sembari menekan tuas rem secara bersamaan. Jangan pula melepas rem kalau masih di turunan. Begitu dari artikel-artikel yang saya baca. Tolong dibenarkan kalau saya salah. Wong saya ini anaknya sotoy berat. Maklum tidak suka hal yang berbau teori. Naik motor ya asal tancap saja. Payah kan? Iya. 

     Kesalahan 80% dari saya, lalu sisanya dari siapa? 10% dari medan jalannya. Sebelumnya jalanan datar, kenapa tiba-tiba ada "surprise" jalanan menurun tajam? Kan eug kaget. 5%   dari view sekitar yang hacep. Kan eug jadi terlena. Sisa 5%, dari siapa lagi ya? Ah! Mobil yang melaju dari arah berlawanan. Bikin ginjal twerking! Pokmen itu. Kesalahan bukan dari saya saja ya? Oke. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar