Kamis, 31 Agustus 2017

YAKALIK GAK NYORE!

Kamis, 19 Januari 2017


Photo by: Sekar

“Ayo dolan!”
     Pagi ini, sebuah pesan chat BBM masuk begitu saya menghidupkan ponsel setelah dicharge selama 1000 tahun lamanya. Tertera nama Amrina Grande di layar ponsel. Tak lama kemudian disusul rentetan chat dari 2 makhluk astral lainnya, Sekar (bukan nama sebenarnya) dan Very (separuh jiwanya Amrina/Amer).

    Sementara itu, gadis bohai semampai ini masih nampak memprihatinkan dengan style “gembel bersahajanya”. Kira-kira kondisinya seperti ini:


  • Belum rampung beberes rumah,
  • Kaos oblong basah oleh peluh sampai nyeplak memperlihatkan lekukan beha dan lemak,
  • Ketek becek mengeluarkan aroma gas amonia dengan kadar tinggi yang bisa untuk membunuh populasi zombie se-Racoon City,
  • Rambut dikuncir keatas dalam kondisi lepek nan tengik, dan
  • Muka jauh dari kata “Galgadot abis”.
     
     Kondisi saya yang masih berantakan, membuat mereka beristighfar sedalam-dalamnya. Lha wong saya itu anaknya ndak bisa diajak dadakan. Kan ai bukan tahu bulat. Apalagi kalau sudah terlanjur mengerjakan gaweyan omah (baca: mbabu), ya harus dirampungkan terlebih dulu. Kali ini pun saya juga sudah menata mood untuk bersih-bersih muka, karena muka ini sudah mirip salak pondoh kalau dipegang. Jadi paling tidak tunggu 1-2 jam atau bahkan lebih, sampai saya benar-benar terlihat gorjes dan redi untuk diajak jalan sama Abang Hamish. Btw, paragraf ini sepertinya tidak penting ya?

     Kembali mereka beristighfar dari lubuk hati terdalam seraya berucap, “Ku ingin berkata kasar”.
KA-SAR.
1 jam…
2 jam…
3 abad 20 hari…

     Sekitar pukul 13.00, (akhirnya) kami pun berangkat santai. Gas tipis-tipis, kalau kata anak motor. Setipis Charm Body Fit. Gerimis sempat turun sebentar ketika kami masih di tengah perjalanan. Beruntung, tidak sampai hujan deras. Ya, cuaca belakangan ini sedang tidak bersahabat. Tidak seperti Alfamart dan Indomaret yang selalu bersahabat dalam suka maupun duka, forever and ever. Tapi mosok preman takut hujan. Mongomong, hendak kemana dikau?


***

     Gapura masuk Dusun Ngentak, Desa Candirejo, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, sudah terlihat dari pinggir jalan raya Weru - Gunungkidul. Kami pun menyusuri jalan desa tersebut. Tidak sampai lima menit, sampailah kami di tempat tujuan. Ya...lokasinya memang hanya selemparan upil plankton dari jalan raya yang merupakan jalan alternatif menuju Kabupaten Gunungkidul, DIY. Kalau dari rumah saya (Jaten, Karanganyar), dibutuhkan waktu kurang lebih 1-1,5 jam untuk sampai di lokasi obyek wisata dadakan ini. Meski dadakan, tapi disini tidak ada kang tahu bulat.  


     Jadi, kami berempat menyempatkan untuk "menengok" salah satu tempat yang cukup hits di kalangan penganut hestek explore ini, explore inu, explore anu. Amer dan Very sebenarnya beberapa waktu yang lalu sudah pernah ke tempat ini. Mereka berdua suka gerak cepat kalau mencari tempat asyik untuk nyore (baca: yhang-yhangan). Di Instagram pun, saya kerap melihat postingan foto tempat ini. Karena dadakan dan berangkatnya juga sudah terlalu siang, maka kami mencari tempat dolan yang dekat-dekat saja. Sedekat aku dan suami...temanku. 



***

     Truk-truk pengangkut batu kapur berlalu-lalang di depan kami. Jangan kaget kalau sesekali hidup kalian akan terhempas manja oleh asap dan debu. Ah, wis biyasa jalan berkawan truk-truk, semacam di Ketep Pass. Telinga pun kian karib dengan suara pukulan batu yang saling bersahutan. Mata saya memperhatikan suasana sekeliling. Terlihat para penambang sedang beraktivitas, sambil sesekali bergurau dengan rekan-rekannya. Suasana desa pun sangat terasa dengan rindangnya pepohonan dan aroma pedesaan yang khas (baca: wangi sapi). Tak jauh dari kami, di depan sebuah rumah sederhana, terpasang sebuah papan bertuliskan "Lokasi dan Puncak Telaga" beserta gambar anak panah ke kiri. Pandangan saya mengikuti arah si anak panah dan terhenti ke sebuah tebing kapur yang menjulang. Oh...itu ta lokasi Telaga Biru?


Kalau Puncak Akademi Fantasi Indosiar dimana, Mz?

"Motornya diparkir disini saja ndak apa-apa, Mbak," kata seorang lelaki paruh baya yang sepertinya tengah ngaso di salah satu teras rumah warga. 

     Nampaknya si Bapak tahu kalau kami sedang celingukan mencari tempat parkir, karena tidak ada petunjuk dimana lokasi parkirnya. Kami pun memarkir motor sesuai arahan si Bapak baik hati. Dan ternyata lokasi dimana kami berada ini bukanlah jalan utama menuju ke lokasi Telaga Biru. Tapi ada akses lain dimana katanya jalan tersebut langsung mengarah ke atas tebing, jadi langsung bisa menikmati view dibawah. Begitu kata Very. Itu artinya, kita harus sedikit "mendaki". Okeoce! Jalan-jalan yang sedikit menantang begini memang favorit ai! Asal jalan kaki, bukan naik motor. Setelah memarkir motor, lalu kami berjalan kaki mengikuti arah yang tertera di papan petunjuk. 


     Kondisi selepas hujan membuat jalanan yang berupa tanah dan bebatuan menjadi becek dan licin. Padahal dari rumah sudah niat mau memakai sandal jepit saja. Untung saya urungkan niat "njepit", karena belum tahu medannya bagaimana. Kalau jadi, sudah mbrodhol kemana-mana Swallow ungu kesayangan saya. Tapi, saya jadinya pakai sepatu Crocs. YA PADHA BAE! LICIN-LICIN JUGA, BAHLUL!


     Langkah kaki kami makin mendekat ke tebing kapur yang mmm...sangat masa kini. Ya, tebing yang "dipercaya" mampu mempercantik feed Instagram people-people jaman now. Tapi kalau ingin mempercantik aura diri untuk menarik perhatian duda kampung sebelah, bukan disini tempatnya. Tebing kapur ini menjulang gagah, seolah membingkai area di sekitarnya. Tempat ini cukup tandus, bertolak belakang dengan suasana desa sekitar yang asri. So, siang hari sepertinya bukanlah waktu yang tepat kalau kalian ingin mengunjungi lokasi ini. Meski panas dan banyak debu, tidak dipungkiri area tebing ini menjadi salah satu spot foto menarik. Hmm...bagaimana untuk foto prewedding saja? Kan murah.






Photo by: Very

Photo by: Very

Photo by: Sekar

     Tapi ini belum seberapa. Untuk mendapatkan view ciamik yang menjadi daya tarik lokasi ini, kami masih harus "mendaki" ke atas tebing. Hanya sekitar 15-20 menit, tergantung seberapa kuat boyok kalian bisa bertahan. Sekali lagi, harus ekstra hati-hati. Keblowok sedikit, die


***

     Saya pun mengayunkan langkah menapaki jalanan berbatu. Harus ekstra hati-hati, karena saya memakai alas kaki yang seharusnya tidak dipakai di kondisi seperti ini. Rentan keblowok. Tanah basah dan bongkahan-bongkahan batu kapur harus kami lewati. Dari atas, saya juga bisa melihat para penambang sedang beraktivitas. Truk-truk pengangkat batu kapur terlihat mini dan lucu dari atas sini. Semacam mainan truk-trukan yang dijual di pasar malam dan ditarik dengan seutas tali. Tapi sayangnya tali ini tidak bisa dimanfaatkan untuk menarik leher pacarmu kalau dia mulai membeli action figure mahal dengan dalih hobi.











     Pandangan mata saya menyapu view sekitar. Semilir angin jelang sore hari sungguh syahdu. Apalagi suasana juga sedikit mendung. Nggelar tikar, makan pisang goreng, ngupi, ena nih! Tapi, "pendakian" kami belum selesai. Kami belum sampai ke spot yang menjadi daya tarik lokasi ini. Oks! Kembali saya membawa Crocs coklat yang sudah mblawus ini menapaki tanah basah dan bongkahan bebatuan kapur yang ukurannya cukup untuk bikin mantanmu sakaratul maut. 







     Sesampainya diatas, rasa mager dan ingin leyeh-leyeh manja langsung muncul. Deretan hijau pepohonan dan gundukan bukit di kejauhan sangat memanjakan mata. Semilir angin sore pun menambah ke-ciamik-an suasana. Kami tiba disini sudah menjelang sore, dimana sudah memasuki jam-jam "kemagisan". Bukan horor, maksudnya memasuki jam-jam enak untuk jalan-jalan. View asyik, suasana asyik, teman asyik, yakalik nggak nyore

     Suara teriakan kegirangan samar-samar terdengar. Oh, ternyata dibawah banyak bocah cilik yang sedang asyik bermain air. Ya, ini dia yang menjadi magnet tempat wisata yang berlokasi di perbatasan Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah dan Kabupaten Gunungkidul, DIY ini. Kubangan-kubangan air berwarna toska yang jika dilihat dari atas menyerupai telaga, menjadi hiburan tersendiri bagi akamsi (anak kampung sini). Maka dari itu lokasi ini dinamakan Telaga Biru, meskipun airnya cenderung berwarna toska. Kalau boleh saya bilang, semacam Telaga Warna di Dataran Tinggi Dieng. Maksa. Bodo. 

"Kayak di Raja Ampat ya?" celetuk Sekar dengan penuh halu.  





   Telaga Biru sebenarnya bukanlah obyek wisata. Tempat ini merupakan lokasi penambangan batu kapur. Bekas galian tambang tersebut membentuk beberapa cekungan. Ketika musim hujan, cekungan tersebut terisi penuh oleh air sehingga mirip telaga. Yang menarik adalah airnya tidak berwarna cokelat, sebagaimana air-air di kubangan, tapi berwarna toska. Itulah yang menambah kecantikan Telaga Biru jika dilihat dari atas, meskipun volume airnya sudah tidak sebanyak dulu waktu awal-awal lokasi ini mulai dikenal. 






***


     Saya merogoh ponsel di tas coklat kesayangan saya. Masuk ke menu kamera, lalu saya mengarahkan lensa ke obyek yang akan ditangkap ponsel Lenovo berkamera seadanya ini. 
Sekali jepret. 
Dua kali jepret.
Limapuluh kali jepret.
Seribu kali jepret.
Sejuta jepret.
Oks. Fail. Hampir semua. Dem
Saya pun menyerah dan memutuskan untuk nunut di kamera ponsel Sekar dan Very saja. Percayalah, ini bukan semacam kode. Tapi jika ada yang mau menghibahkan kamera bagus ke saya, akan saya terima dengan dada...eh, hati yang terbuka. 



Photo by: Sekar

Photo by: Very

     Kami sempat iseng membuka Instagram untuk mencari referensi foto yahud di tempat ini. Mereka kebanyakan berfoto dengan pose duduk anggun di pinggir tebing dengan kaki menjulur ke bawah. Sepertinya foto semacam itu tidak akan kami ikuti. Sebenernya biasa saja dan tidak ada yang perlu ditakutkan, tapi...

  • Kami sadar, keselamatan dunia akherat adalah segalanya.
  • Kami sadar, pinggiran tebing yang rawan rapuh ini tidak akan mampu menampung berat badan dan dosa kami.
  • Kami sadar, kami masih ingin menikah.
  • Kami sadar, pinggiran tebing bukan tempat berfoto aneh-aneh bagi tua bangka macam kami.
  • Kami sadar, hanya badan setipis Victoria Beckham yang berani salto di pinggiran tebing.

Pose yang normal-normal saja lah, macam dua sejoli ini.

***

     Setelah puas berfoto-foto ganjen, kami pun turun karena hari makin beranjak senja. Sebenarnya sunset-an disini sepertinya mengasyikkan. Tapi sayangnya cuaca agak mendung, jadi mungkin next time bisa dicoba. Telaga Biru ini bisa dijadikan alternatif wisata murah meriah bagi yang ingin santai-santai menikmati pemandangan dari ketinggian. Meskipun lokasi ini termasuk obyek wisata dadakan dan musiman (karena air telaga melimpah hanya saat musim hujan), tapi tetap harus menjaga kebersihan jika kalian berkunjung kesini. 






Thank you, guys!
Ketjoep!