Selasa, 12 Desember 2017

Lawang Sewu, Sebuah Lorong Waktu (Part 2)

Kamis, 14 September 2017





Gedung B

     Keluar dari Gedung A, kami menuju gedung selanjutnya, yaitu Gedung B yang disebut sebagai Ruang Komersial. Begitu masuk, mata saya menangkap satu spot yang cukup memancing perhatian. Di sisi kanan, tepat di bawah tangga, ada 1 ruangan ke bawah yang menurut saya itu terhubung dengan ruang bawah tanah. Namun tidak ada akses untuk turun, sehingga kita hanya bisa menengok dari atas. Kondisinya pun sangat gelap. Saya mencoba menyalakan senter di ponsel untuk menyorot suasana di dalamnya. 

    Kita yang melongok dari atas juga harus hati-hati. Diusahakan untuk tidak terlalu mendekat karena tidak ada pembatas apapun di luar. Kondisinya benar-benar gelap, sehingga kita tidak tahu "wujud" ruangannya seperti apa. Kalau sampai njlungup, dikhawatirkan nanti kalian masuk ke dunia Alice in Wonderland. Tapi monmaap saya tidak punya stok foto ruangan ini karena ngeblur semua dan jempol saya reflek menghapusnya langsung. Horor? Oh. Bukan. Memang tangan saya saja yang jahanam tidak bisa motret.

     Menyusuri koridor gedung berlantai 2 ini, saya merasakan suasana klasiknya lebih terasa. Mulai dari model ruangan dengan atapnya yang tinggi, lantainya, hingga anak tangganya pun masih mempertahankan gaya lawasnya. Apalagi ketika melihat anak tangganya dari bawah, sedikit terkesan spooky. Di sisi kanan dan kiri terdapat ruangan-ruangan kosong dan luas. Di sisi kiri, ada ruangan yang bisa dikatakan mirip aula, tapi tanpa meja dan kursi. Tentu bukan kursi pimpinan DPR. Benar-benar melompong sehingga membuat suara kita bergema ketika berada di dalamnya. Deretan jendela-jendela besar yang terbuka ke atas turut menghiasi ruangan ini. Dengan ukuran ruangan yang lebar dan jarak yang tinggi antara lantai ke langit-langitnya, saya merasa seperti upil plankton


Wq.

     Lalu di sisi kanan, masih terdapat ruangan-ruangan kosong juga, tetapi dengan ukuran yang lebih kecil (34B atau 36B?). Ruangan ini seukuran kamar biasa, berderet selayaknya ruangan-ruangan kantor, dan antar ruangan dipisah tembok bercat putih dengan pintu yang berada di tengahnya. Deretan pintu-pintu ini menciptakan kesan layaknya koridor memanjang yang kian jauh seolah kian mengecil. Spot ini menjadi salah satu spot wajib foto juga jika berkunjung ke Lawang Sewu. 




     Saya sempat menyusuri lantai 1 sendirian, karena orangtua saya sedang ngaso sejenak (tapi ngasonya bukan di kantin sekula'an sembari nyomot gorengan). Ketika menengok ruangan-ruangan di Gedung B ini, lumayan bikin bergidik juga. Terutama ketika masuk ke ruangan yang saya bilang mirip aula. Mungkin karena saking luas dan kosongnya, saya jadi membayangkan yang aneh-aneh. Terlebih saya datang di hari kerja dan masih pagi, jadi suasana masih teramat sepi. Mungkin si noni-noni Belanda lagi sarapan di warung bubur ayam mamang-mamang pengkolan. Tim bubur ayam diaduk atau bukan?

     Saya melanjutkan menyusuri koridor lantai 1 hingga ke ujung. Di belakang terdapat halaman kecil dengan beberapa tanaman dan rerumputan. Terpajang pula sebuah kereta mini dan tempat parkir sepeda yang nampaknya sudah tidak terurus. Tapi kereta mininya tidak bisa dimainkan. Ini bukan di mall ya, kids. Mushola juga berada di bagian belakang gedung ini. 



"Lalu dimana letak ruang bawah tanahnya?" gumam saya dengan dahi mengernyit. 

     Lawang Sewu identik dengan ruang bawah tanahnya yang cukup tersohor. Ruangan yang pernah difungsikan sebagai penjara bawah tanah tersebut selalu membuat saya penasaran untuk merasakan atmosfernya (sok berani). Karena ruangan yang saya temui di dekat pintu masuk tadi tidak ada akses ke bawahnya, berarti ada akses lain. Ternyata sebelum tangga yang berada di ujung koridor, terdapat ruangan dengan pintu tertutup dan tertempel kertas pemberitahuan penutupan sementara. Itulah akses menuju ruang bawah tanah yang sedang direnovasi sehingga belum bisa dibuka untuk umum. Seperti aurat, tidak dibuka untuk umum. Kecuali auratnya Dedek Molen.


Pintu menuju ruang bawah tanah = pintu penentu level keberanian

Kendall Jenner pun sangat sad tidak bisa menengok the underground of Lawang Sewu...


***

    Beranjak ke lantai 2, suasananya sama seperti lantai 1. Hanya terdiri dari ruangan-ruangan luas dan kosong dengan jendela-jendela besarnya. Saya kurang tahu apakah ruangan-ruangan ini biasanya digunakan untuk acara umum atau tidak. Tapi bukan untuk syuting acara Katakan Putus ya, gengs. Saya menyusuri lantai 2 bersama Bapak. Kami sempat santai sejenak di balkon bagian luar. Dari tempat ini, saya bisa melihat bangunan DP Mall yang berada di samping Lawang Sewu. Sebuah pemandangan yang kontras, dimana bangunan mall tersebut merupakan bangunan modern, sementara di sebelahnya terdapat Lawang Sewu yang mempertahankan gaya kolonial Belanda. Saya merasa berada di "pintu perbatasan" masa depan dan masa lalu. Tapi pintu ini tidak membahayakan. Yang membahayakan hanyalah pintu perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan.  








     Di lantai 2 Gedung B ini terdapat jembatan penghubung ke lantai 2 Gedung A, namun ujungnya ditutup supaya tidak ada pengunjung yang nekat masuk. Seperti yang saya bilang di postingan sebelumnya, lantai 2 Gedung A ditutup untuk umum en aidonowaaaiii. Selayaknya jembatan pada umumnya yang sering dipakai nongkrong, di jembatan ini juga dipakai beberapa pengunjung untuk nongkrong santai sembari berfoto dengan mirrorless kesayangan. Beberapa pengunjung wanita yang mayoritas adalah antek ter-Fujilah, terlihat sibuk mengoleskan kembali gincu yang memudar, agar ketika berfoto tetap terlihat cantik seperti bintang iklan. Bintang iklan Baljitot. 

     Sebelum turun kembali ke lantai 1, saya melihat ada anak tangga keatas lagi. Mungkin lantai paling atas Gedung B. Namun saya sedikit ragu karena jika dilihat dari bawah terkesan seperti loteng yang sunyi dan spookySudah jelas, itu bukan kamarnya Kevin McCallister. Kendall penasaran tapi plenjir, njuk kepiye? Bapak saya juga tidak mau diajak naik. Okelah, lupakan saja meski hati masih penuh dengan rasa penasaran yang belum tuntas. Seperti rasa penasaran soal seberapa gede bakpaonya Si Papa. Segede bakpao Mega Jaya atau bakpao disajikan dalam keadaan hangat?



Ini tangga menuju lantai paling atas Gedung B. Monmaap semua fotonya ngeblur. 

"Itu ruangan untuk nyimpen arsip-arsip, Mbak. Naik aja, ndak apa-apa," kata salah seorang pegawai di Lawang Sewu ketika saya bertanya soal ruangan yang mirip loteng tersebut.

"Naik aja, ndak apa-apa" 
"Naik aja, ndak apa-apa"
"Naik aja, ndak apa-apa"
Tapi saya... asudahlah. Kami memutuskan untuk turun saja. Menuruni tangga yang difungsikan sebagai jalur turun, harus hati-hati. Baidewai, tangga naik dan tangga turun di Gedung B ini dibedakan jalurnya. Di tangga turun yang terbuat dari marmer ini, beberapa bagian terlihat cuil. Anak tangganya sendiri lumayan kecil dan sempit, jadi hati-hati saja. Bagian yang cuil itu memang dipertahankan seperti apa adanya atau sudah waktunya renovasi? 





Next: Lawang Sewu, Sebuah Lorong Waktu (Part 3)