Rabu, 12 Desember 2018

Mendadak Wonosobo (Part 3): Nge-Longkrang



     Gemericik air terdengar mengiringi gaung adzan Subuh. Saya membuka tirai sedikit. Hmm. Ternyata benar, hujan masih belum berhenti sejak semalam. Sepertinya gagal maning melihat gunung. Namanya juga manusia bisa berencana, Mbah Mijan yang menentukan.





     Hari beranjak terang, namun matahari masih enggan menampakkan diri. Rintik hujan pun terlampau betah membasahi. Untuk menghangatkan diri, saya beranjak membuat kopi instan "Hari Bagus" yang dibeli semalam. Di kamar kebetulan disediakan electric kettle. Saya membuka tutup ketelnya dan... Bangke! Masih ada sisa seduhan minuman dari pengunjung sebelumnya dan tidak dibersihkan dulu dong sama mas-mas hotelnya. Duh Gusti, saya mohon ijin mau misuh-misuh sebentar. Padahal penginapan ini banyak pengunjungnya. Bagaimana bisa sejorok ini? Saya tidak akan menyebut nama penginapannya ya. Lupa pula untuk mengambil gambarnya, nanti dikira fitnah. Bahlul.

    Sementara teman-teman masih terbuai mimpi, saya duduk menikmati pagi-nya Wonosobo di balkon seorang diri. Sejenak mendinginkan hati setelah dilanda emosi pagi hari. Dari jauh, sayup-sayup terdengar gelak tawa bocah-bocah dan beberapa orang dewasa. Sepertinya berasal dari kamar yang diinapi satu keluarga. Di ujung koridor, terlihat raut muka gembira dan tawa riang terpancar dari sepasang suami-istri dengan anak balita mereka yang bersemangat lari kesana-kemari. Ah, lucu sekali. Bapaknya. Lalu di depan kamar sebelah, ada seorang lelaki paruh baya yang sedang duduk santai sembari mulutnya sibuk menghisap rokok yang terselip di jemari. Tiada jemu mata ini memandang deretan rumah-rumah berlatar belakang hijau alam yang mampu meluruhkan amarah. Saya puas-puaskan terlebih dahulu mengecap dingin pagi yang membangunkan energi.
     
     Satu per satu mulai bangun dan kami bersiap-siap pulang. Hujan juga sudah reda. Langsung pulang? Tentu tidak, sayang. Tujuan utama saya ke Wonosobo kan demi mie ongklok. 

***

"Sing enak yo Longkrang, tapi larang. Ana sing murah, cedhak omahku, enak tapi bukak'e sore," ucap teman saya, rakyat asli Wonosobo dengan logat Jawa ngapaknya. 

Tapi-bukak'e-sore.
Tapi-bukak'e-sore.
Tapi-bukak'e-sore. 
Trims, brader!

     Kami berencana pulang siang ini juga. Maka dari itu, setelah semua beres kami langsung cabut menuju mie ongklok femes nan legendaris di Wonosobo, yang selalu muncul di halaman pertama Gugel ketika kalian browsing "Mie ongklok Wonosobo". Teman saya bilang mahal, tapi kita coba saja. Saya harus perlahan belajar selayaknya anak sultan jika ingin menjadi teman Rafathar.

     Dari penginapan, kami menembus keramaian Alun-Alun Wonosobo di Minggu pagi. Lalu menyusuri Jl. Pemuda yang juga sudah cukup padat lalu lintasnya. Akhirnya kami sampai di sebuah kedai kecil di pinggir Jl. Pasukan Ronggolawe. Saat kami datang, kedai yang didominasi warna putih ini sudah cukup ramai. Tapi masih ada beberapa meja dan bangku yang kosong. 

"Mie Ongklok Longkrang"

     Begitu nama yang tertulis pada sebuah spanduk berwarna kuning yang dipasang di depan kedai ini. Setelah memesan mie ongklok, sate sapi, dan minuman, kami memilih duduk di bangku dekat jendela yang penuh tempelan stiker-stiker komunitas yang pernah jajan di sini. Sudah semacam jendela basecamp UKM di kampus-kampus. Ting tememplek.





     Tidak lama, semangkuk mie ongklok dengan kuah kentalnya tersaji di meja. Saya pun tidak sabar mengicip kuahnya terlebih dahulu sebelum mengaduknya. Enaknya keterlaluan Ya Allah! Rasa ebinya sangat terasa. Setelah mengaduknya, lalu saya "menduetkan" mie ongklok dengan tempe kemul yang garing. Kenapa seenak ini? Sampai sekarang, saya masih tidak paham jika ada orang yang tidak doyan mie ongklok. Mungkin panjenengan wajib mencoba langsung Mie Ongklok Longkrang ini. 




     Di saat saya kicep karena terlalu menikmati mie-nya, seporsi sate sapi datang menyusul. Satenya pun tidak kalah enak. Rasanya ya seperti sate kere khas Solo. Hanya bedanya sambal kacang di sate sapi ini tidak setumpah-tumpah sate kere. Daging satenya pun lebih garing, tapi tidak alot. Perpaduan mie ongklok dan sate sapi ini memang tidak terbantahkan kelezatannya. Makan mie ongklok tanpa sate sapi itu bagai mendengarkan Mars RX King tanpa trengtengtengtengteng-nya. Hampa.





     Di Mie Ongklok Longkrang, saya merogoh kocek Rp 51.000 untuk menebus dua mangkok mie ongklok, seporsi sate sapi, dua gelas minuman, tempe kemul, dan geblek. Iya, selain tempe kemul, di meja juga tersedia geblek. Yang saya tahu, geblek adalah makanan khas Kulonprogo. Ternyata di Wonosobo juga ada. Sewaktu melewati alun-alun pun banyak kang gorengan yang menjual geblek juga. Jika ndak tahu apa itu geblek, saya sudah pernah membahasnya di postingan ini


Source: https://kbbi.web.id/geblek


     Hmm. Nampaknya hujan memang begitu merindukan bumi. Ketika kami sedang makan, hujan kembali turun. Selesai makan, saya segera pamit pulang supaya tidak kemalaman. Rencana bablas ke Magelang pun saya batalkan. Di perjalanan, hujan masih belum bosan, bahkan makin deras hingga dinginnya menampar tembolok dan persendian.

Wonosobo, terimakasih.
Sisakan satu rumah untuk saya tempati nanti ya.  

Jumat, 30 November 2018

Mendadak Wonosobo (Part 2): Dari Udan-Udan Hingga Shower Terbang

Sabtu, 24 Maret 2018
     Sedari sore hingga petang menyapa di penginapan, kami masih setia menunggu hujan reda. Ya apalagi kalau bukan untuk cari badhogan malam? Teman-teman saya cah Wonosobo pun bersedia menemani. Namun sebelumnya kami mandi terlebih dahulu karena badan sudah mulai beraroma nasi basi. Tentu saya yang pertama, karena durasi saya mandi bisa untuk teman-teman berangkat umroh pulang-pergi dan mampir di Turki. Kamar mandi di penginapan ini sangat standar. Tidak ada wastafel plus kaca besarnya, hanya ada kloset duduk, shower, tempat untuk menaruh peralatan mandi, dan sebuah kran kecil yang bisa untuk wudhu. Di dalam kamar mandi, sampo yang tidak munthuk dan sabun Harmony jeruk sudah cemepak. Ya, sabun Harmony untuk penginapan seharga Rp 400.000-an. Bhaique. Memang penginapan ini menurut saya menjual view, dimana para pengunjung dimanjakan view pegunungan yang bisa dinikmati langsung dari kasur yang berada di balik jendela kamar yang lebar. Itulah yang memikat saya untuk menginap di sini, selain karena penginapan yang lain sudah full. Lha tapi udan je! Saya kurang beruntung hari ini. Kita tunggu esok pagi.

Balik lagi ke kamar mandi, saya pun menyalakan shower dan...

Syuuuuutttt! Wuuuuussshhhh! 

Fak! Kepala showernya terbang dong, beib! Iya, si kepala shower terlepas dari selangnya, lalu terbang karena dorongan air dari dalam. Airnya menyembur kemana-mana sampai baju ganti saya juga kecipratan, karena untuk tempat ber-shower-nya tidak bersekat. Sial! Dan akhirnya saya pun mandi dengan kran kecil. Begitu juga yang lain. Tidak laporan? Nanti saja sekalian ketika akan keluar cari makan. Kami terlalu malas untuk ke lobi. Kan bisa telepon? Penginapan empat ratus ribu-an ini tidak menyediakan telepon di masing-masing kamarnya. Nice, barbie!


***

     Sekitar pukul 20.00 WIB, kami keluar dari penginapan karena sepertinya hujan mulai berhenti. Kenapa tidak pesan makanan saja di penginapan? Lha wong saya ke kota ini kan inginnya jalan-jalan dan kulineran pinggir jalan, sembari menikmati suasana Sabtu malam di Wonosobo. Tapi...

     Begitu kami keluar, suepi polll! Jalanan sepi, bahkan di alun-alun kota pun tidak banyak orang. Sangat kontras dengan suasana ketika kami datang. Meskipun kota ini kecil, tetapi kondisi jalanannya ramai dan macet. Lalu kenapa malam ini sepi nyenyet? Mungkin karena hujan ora leren-leren dan padha kelon kali ya? Saya melihat ada beberapa tempat makan kaki lima, tapi harus jalan berputar terlebih dahulu. Sementara gerimis perlahan kembali turun. For your FYI, di Wonosobo jalanannya kebanyakan satu arah. Kami saja sempat kebingungan dan salah jalan ketika baru datang. Semua karena terlalu manut sama Mbak-Mbak Google Maps. Saya maklumi, karena Mbak Google Maps kan bukan Mbak You yang tahu segalanya.

     Daripada kehujanan di jalan, teman saya mengajak makan di Pujasera Allure, sebuah tempat makan yang berkonsep foodcourt. Ada live music juga. Jadi tempat ini mungkin jadi tempat nongkrongnya pemuda ber-Supreme dan pemudi ber-Marc Jacobs Wonosobo. Saya pun mulai menengok satu per satu konter makanan YANG MASIH BUKA. Iya, baru sekitar pukul 20.00 WIB tapi sudah banyak konter makanan yang tutup. Yang masih buka pun makanannya banyak yang sudah habis. Sewaktu saya datang pengunjung masih ramai sekali. Yawislah. Akhirnya kami memesan seadanya, nasi ayam geprek mozarella dan soto sapi. Masing-masing seharga Rp 15.000 - Rp 20.000-an kalau tidak salah ingat. Saya lupa nama konter makanannya apa.

     Nasi ayam geprek ini memakai cabai ijo, jadi pedasnya terasa segar di lidah saya. Tambah nikmat ketika dipadukan dengan topping mozarella (monmaap saya lupa fotoin). Lalu untuk soto sapi, mungkin ini soto sapi khas Wonosobo (CMIIW). Soale di Solo saya belum pernah melihat soto dengan isian lontong, tanpa salam lemper. Rasanya enak dan cocok dimakan pas hujan. Namun bagi saya, sedikit mahal ya harganya. Iya tidak ya? Atau saya saja yang kere? Untuk air mineral dingin harganya Rp 5.000. Ya maklum namanya saja foodcourt, harga segitu mungkin wajar. Berarti saya yang kere. Untung makanannya enak. Sepertinya saya memang harus jadi teman sepermainan Rafathar, biar kalau makan tidak pakai mikir harga.

Soto sapi.


     Kami di Pujasera Allure tidak lama karena sudah mulai kukutan. Selesai makan, kami bergegas kembali ke penginapan sebelum hujan makin deras. Namun manusia boleh berencana, Mbah Mijan yang menentukan. Di tengah jalan, hujan deras mengguyur. Terobos saja, yang penting cepat sampai penginapan. Hingga malam, kami larut dalam obrolan yang penuh ghibahan. Lalu masing-masing undur diri untuk menjemput mimpi, dengan alunan merdu rintik hujan sebagai lullaby.


Selasa, 06 November 2018

Mendadak Wonosobo (Part 1): Mampir Ngopi di Kledung

Sabtu, 24 Maret 2018


 



1 jam 16 menit (42km) 
      Begitu kata Gmaps sewaktu saya mengecek jarak Temanggung-Wonosobo. Tidak begitu jauh. Berangkat! Kami manut papan petunjuk yang berada di bangjo dekat Gedung Pemuda. Pokmen titetane sampai Parakan gitu ja. Sesampainya di Parakan, lalu lintas sedikit macet karena ada proyek auk apaan. Yang paling apes di arah berlawanan (Wonosobo-Temanggung), antrean kendaraan terlihat seperti antrean nasabah BRI.
                                                                    
    Belum ada separuh perjalanan, hujan turun. Saya tengak-tengok mencari tempat berteduh untuk memakai jas hujan karena lumayan deras. Lalu di depan kami melihat ada sebuah kedai kopi, tapi bukan kedai kopi Joni. Kami pun berhenti.


Warung Kopi Surya Kledung

     Setelah memarkir motor, kami bergegas masuk ke dalam. Meja paling pojok dan dekat jendela menjadi pilihan kami. Ya, kami putuskan untuk berteduh saja dulu karena melihat ada sesuatu yang istimewa di sini. Mbak-mbak pelayan datang menghampiri meja kami sembari menenteng buku menu. 






    

     Jadi, mbake yang istimewa? Mmm...bukan! Katamu ada yang istimewa, Dek Tika? Apa? Jika menilik pilihan menu, memang tidak ada yang istimewa. Namun menilik lokasi, kedai yang terletak di Jalan Raya Parakan-Wonosobo ini diapit oleh dua gunung. Apalagi jika bukan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing? Meski berkabut, namun tetap memesona dan memanjakan jiwa.









     Perjalanan Temanggung-Wonosobo memang tidak memakan waktu yang lama, akan tetapi view ajaib di sepanjang perjalanannya sangat mubadzir jika dilewatkan begitu saja. Lalu? Cobalah dengan khusuk menikmati pemandangan yang disuguhkan, ditemani sruputan secangkir Arabica Sindoro Posong dan sepiring mendoan yang sungguh cemokot. Mungkin lebih cemokot ketimbang pacarmu.
    



    


     Kalau ngopi di kaki gunung begini rasa-rasanya seperti di Tawangmangu. Tapi karena terlalu sering ke Tawangmangu, jadi ketika berada di Kledung ini merasakan suasana yang baru dan berbeda. Terlebih menu kopi yang ditawarkan di sini adalah jenis kopi lokal. Jangan menyuruh saya mereview kopi. Ora mudheng. Saya hanya penikmat, bukan pengamat. Seluk-beluk kopi biarlah menjadi tugas Ben dan Jody. 

     Sekitar satu jam kami berada di Warung Kopi Surya Kledung, menanti hujan berhenti. Namun ternyata ia masih betah mengguyur dengan sapuan dinginnya. Karena takut kesorean, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan terpaksa memakai jas hujan. Untung Swallow ungu kesayangan saya bawa serta. Sesampainya di Kota Wonosobo pun hujan masih belum angkat kaki. 



 
Warung Kopi Surya Kledung
Jl. Raya Parakan-Wonosobo KM.11, Kalianggrung, Tlahap, Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.